Langsung ke konten utama

Topeng (bag.21)

-Perasaan-



Kisah Dr. Henry Jekyll dan Edward Hyde berputar dalam benak dokter Yuri. Karya tulis Robert Louis Stevenson yang dibacanya beberapa tahun yang lalu tentang dua kepribadian dalam satu tubuh yang muncul dalam eksperimen liar seorang jenius itu sejatinya lahir dalam alam sadar kepribadian utama yang bosan dengan kesempurnaan dirinya sendiri. Ia bosan dengan ketenaran dan kepopulerannya sebagai seorang ilmuan terpandang lagi dermawan sehingga merasa perlu melakukan petualangan hitam dalam bentuk lain dari dirinya.

Dr. Henry Jekyll menciptakan Edward Hyde dengan seluruh kesadaran yang dimilikinya. Ia menikmati kebrutalan yang dilakukan sisi kepribadian lainnya itu. Betapa menyenangkan saat memukul orang-orang yang menurutnya mengusik hati. 

Awalnya, perubahan dilakukan secara berkala. Namun seperti narkoba, Dr. Henry Jekyll mulai ketagihan untuk memenuhi hasrat eksperimen dan petualangannya.

Jika Edward Hyde pada awalnya memiliki penampilan fisik paling mengerikan dalam setiap peralihan kepribadian, maka dengan sering terjadinya perubahan beberapa waktu kemudian penampilan itu sempurna menyerupai fisik Dr. Jekyll namun dengan mental seorang pecundang. 

Ketakutan menyerang batin Dr. Jekyll. Ia lebih sering hilang atau tak sadarkan diri lantas berganti posisi menjadi Hyde yang bengis. Penyesalan dan rasa bersalah semakin menghantui karena Hyde menjadi kuat. Sebaliknya, Jekyll melemah dengan sendirinya. 

Pada akhir cerita, Hyde ataupun Jekyll mati dengan cara bunuh diri. Rasa bersalah Dr Jekyll yang menggunung serta kesempatan yang sedikit untuk pribadinya muncul membuat Ia memutuskan kisah hidupnya. setidaknya Hyde tak akan meracau dengan tubuhnya yang kini mendekati sempurna. Begitulah keputusan itu dibuat.

Berbeda dengan kisah fiksi yang pernah dinikmati saat mengisi waktu luang, dokter Yuri juga mengetahui kisah nyata seorang Shibil dengan 16 kepribadian dan Billy dengan 24 kepribadian dalam diri mereka. 

Para penderita DID rata-rata memiliki kepribadian untuk menyakiti tubuh, bahkan sampai dengan mengakhiri hidup.

*****

Dokter Yuri melangkah menuju kamar dimana Hera dirawat. Sudah dua hari gadis itu dipindahkan keruangan yang lebih bersahabat melihat perkembangan kondisi mentalnya yang semakin baik.

"Hai.., Rhea?" Kata sapa itu menggantung sesaat sebelum nama gadis itu dipanggil. Dokter Yuri mengenali terlebih dulu siapa yang Ia hadapi sekarang. Sorot mata tajam itu hanya milik Rhea seorang.

"Bagaimana perasaanmu hari ini?" Sambungnya lagi, kini Ia mencoba lebih akrab.

"Baik." Jawab Rhea singkat.

Pembicaraan berlanjut, sesi terapi dijalankan ketika Rhea dinilai mampu untuk bekerja sama. Sayangnya, kepribadian utama belum muncul juga sejak penangkapan Anton yang kini ditahan di kantor polisi.

"Jadi kau tak ingin mencoba memanggil Hera, apa tidak akan menjadi masalah bagimu?" tanya dokter Yuri.

"Tidak perlu, lebih baik begini." Tegas Rhea

"Kau tahu..? sejak hari kau dirawat disini, pak Dimas sudah beberapa kali datang untuk menemui Hera. Tidakkah kau akan memberinya kesempatan untuk bertemu pak Dimas? Aku rasa pria itu menyimpan perasaan pada Hera." Jelas dokter Yuri sedikit menggoda.

"Biarkan saja. Lebih baik pak Dimas tidak usah lagi menemui Hera." Jawab Rhea sambil menghembuskan nafasnya dengan kuat.

"Bagaimana denganmu, apa kau mau menemui pria itu?" Tanya sang dokter menyelidik. Tersirat rasa cemburu dari nada suara Rhea tadi.

"Apa kau menyukai pria itu?" Kejarnya lagi dengan wajah menggoda.

Rhea tak menjawab, memilih menutup mata daripada menjawab pertanyaan-pertanyaan dokter Yuri yang semakin menyulitkan hati.

"Siapa yang lebih banyak berinteraksi dengan pak Dimas selama ini, Rhea atau Hera?"

Kening Rhea berkerut, tandanya Ia sedang berpikir, namun tak ada jawaban yang diberikan. Walau begitu, dokter Yuri cukup merasa puas hanya dengan melihat reaksi Rhea. Ia tau jawabannya.

"Apa kau mau bertemu dengan pria itu? Ia akan kesini sebentar lagi."

Sontak saja Rhea kaget dan segera membuka mata, hilang sudah keacuhan yang tadi ia hidangkan untuk dokter Yuri, berganti kesungguhan untuk mengetahui berita yang baru saja didengar. Wajah pucatnya kini terasa hangat, Mungkin ini yang disebut merona.

"Mau..?" Kembali dokter Yuri meyakinkan gadis manis dihadapannya.

Suara ketukan di pintu terdengar. Dokter Yuri melangkah menuju pintu, membukanya dan mempersilahkan seseorang yang selama ini berkali-kali menemuinya untuk mengetahui keadaan Hera.

"Silahkan masuk pak Dimas, kami sudah menunggu anda dari tadi." Sambut dokter itu ramah

Dimas masuk dan menyapa gadis yang sedang duduk manis di atas ranjang tidur, sosok yang dimaksud menjawab saja sapaan itu dengan ramah. Rhea tidak ingin terlihat kacau didepan pria itu.

"Kau terlihat lebih segar hari ini, sebenarnya ada banyak hal yang ingin kusampaikan, tapi terlebih dulu Aku ingin mengucapkan banyak terimakasih padamu." Dimas memulai percakapan, pesan dokter Yuri sebelumnya Ia ingat, buat gadis itu merasa nyaman.

Hari itu pertemuan Rhe dan Dimas berlangsumg selama satu jam. Dokter Yuri mencatat semua perubahan dan reaksi yang terlihat pada Rhea. Bahkan sebelum Dimas pulang, pernyataan dari pria itu tentang bagaimana sikap Rhea dinilainya sama seperti saat interaksi di tempat kerja.

Satu hal yang masih mengganggu pikirannya. Dimana Hera?

Bersambung..

Komentar

  1. Bagus ini ceritanya. Tapi agak bibgung. Harus mengingat cetuta sblmnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba wid..perlu semedi ngulang bacaan kalau mau..hihihi.

      Hapus
    2. Mba wid..perlu semedi ngulang bacaan kalau mau..hihihi.

      Hapus
  2. Waaah hera dimana nih. Jadi penasaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada di hatiku a..hehe

      HERA-N maksudnya. Hehe

      Hapus
  3. Rhea itu kepribadian lain dari Hera. Yg menjadi pertanyaan darimana si dokter yuri tahu kalau namanya Rhea? Hmm

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah