"Aku mulai lelah," lirihmu kala itu.
Cinta yang kaubaringkan di pintu waktu mulai membeku. Dingin, sepi, nyeri dan misteri jadi satu serupa altar persembahan menawarkan korban.
Mungkinkah kasih ini kian lama menguap, hingga habis dihembus angin? Lembar lidahku tak lagi menyimpan remah aksara. Kelu. Pilu menyetubuhi awan dan langit, menjamah ruhku.
Padang rinduku seketika buram, menggamit dinding bola mata hingga menggenang uap bening, sesaat lalu jatuh mencipta gerimis.
"Mari, kita coba kembali mengeja rasa di hati masing-masing, baiknya berhenti sejenak!" ajakmu memaksa segelas racun terjun, membakar lambung kalbu.
Berhari-hari tekak ini termenung, memandang sinis aliran sungai di lembah rindu yang arusnya landai menggiring ke samudra cinta.
Penyakitan. Aku menjadi dinding lusuh diterjang ombak lautan. Mati rasa dan hampir saja rasaku mati.
Aishh ..!
Sampai kapan kaumendebuiku, mencipta pucat pada lembar hati yang berserakan di rongga langit-langit malam.
Enyahlah!
Pada akhirnya bait-bait sunyi hanya mampu memeluk lutut, menyisakan lubang di ubun-ubun hati. Saatnya membakar daun-daun asmara yang pernah menyelimuti raga kita, lalu menyiang reranting dan akar permainan hati kita.
Biarkan hela pada jari-jari waktu menjalankan tugasnya, sampai angin menghujat pergi semua rasa.
#0
Wahh... Ini nih, aku mau belajar buat tulisan yg penuh diksi.
BalasHapusKereen kak Na.
Makasih, mba Ciani. Ini saya juga masih belajar, mba. (^∇^)
HapusMba.. Na aku pengen ketemuu..
BalasHapushayuuuk
HapusBiarkan waktu yang bicara, nikmati indahnya cinta. Cinta selalu datang bersamaan. Membawa duka Dan bahagia...
BalasHapusAhahahaha...karena engkau yang disana...selaksa karang yang berdiri tegak...susah untuk dipijak
eeaaa...so sweet. Makasih, mba Wid.
Hapusdiksinya...kereeen..
BalasHapusMakasih, Mba Lisa. Belajar dari someone in somewhere, mba. :D
Hapus