Kata-kata
telentang. Sepasang matamu sendu menatap awan yang kepayahan mengandung hujan.
Sebentar lagi, ya, sebentar lagi awan akan melahirkan.
Kan? Uap air
serupa anak-anak kecil terjun susul menyusul, riang diiringi selendang
api menari-nari.
Petrikor
seketika gentayangan. Merasuki indera pembau menyesakkan rongga dada.
Pemuda
dekil lusuh pemilik mata sendu tersenyum senang. Ketampanannya tertutup rambut
liar yang tumbuh dengan bebas. Tubuhnya basah. Hatinya basah.
Aku
sudah datang. Kamu senang? Saatnya mengisi perut yang sedari tadi diamuk demonstran. Tapi maaf, yang ada hanya ini: air hujan.
Dingin
menggerayangi tubuhmu, kala kumuntahkan ingatan pada lembar langit.
Jangan
pergi! Kalimat yang bagai mantra itu menahan ruhmu berpindah.
"Ah. Akan ada saatnya pergi. bahkan sebelum ini, tak kurindukan mati sebelum
menemukannya." ucapmu beberapa hari yang lalu.
Minumlah
kawan, sebanyak-banyaknya. Isi lambungmu hingga kembali tegak dudukmu. Setelah
itu lanjutkan pencarian dan berhentilah menarik mata belas kasihan atau yang lebih
mengerikan adalah pandangan mata menuduh, gelandangan.
Apa
yang kau cari?
Bahagia
Sudahkah
kau temukan?
Belum
Kenapa?
Sebab
aku belum bisa menemukan tangga menuju tanah kasta yang lebih mulia.
Tidak
perlu. Kau sudah cukup mulia dengan kesabaranmu.
Kabut menutup bumi. Satu lagi jiwa kembali kepangkuan ilahi. Rerumputan lirih berbisik, aromanya wangi.
#1
Innalillahi...
BalasHapus