Langsung ke konten utama

Reuni Cinta (2)



     Kedua kakak beradik itu menghabiskan hari dengan cerita, canda dan tawa. Sama seperti tahun sebelumnya.

     "Eh, kak Rei .., Rui sudah pandai mencuci, loh!" pamernya, "bantu Rui menjemur ya nanti!" pintanya pada kakak, karena tinggi tubuhnya yang masih rendah tak mampu mencapai tali jemuran.

     "Oya ? Baiklah!" kakak menyetujui.

     Matahari kini pada posisi tegak, panasnya tentu saja menyengat. Udara hangat dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang melewati celah ventilasi rumah tingkat dua itu membuat Rui menguap berkali-kali. Kakak laki-lakinya sangat paham akan kebutuhan tidur siang si adik yang kini berumur delapan tahun. Apalagi setelah mencuci sekeranjang pakaian kotor yang telah didiamkan selama dua hari. Lelah sudah pasti menyelimuti adik kecilnya.

     Pukul 16.00 WIB. Rui terbangun dengan perasaan kesal, seharusnya ia tidak tidur siang tadi. Dua jam akhirnya terbuang percuma, waktu yang semestinya dapat ia manfaatkan bersama kakak tercinta kini berlalu tanpa kesan.

     "Kenapa kakak tidak bangunkan Rui?" protesnya.

     "Tidak apa-apa, kamu kelihatan lelah sekali. Lagi pula anak kecil harus banyak tidur agar cepat besar." ledek kakak sambil mencubit pipi Rui.

     "Apa kakak akan pergi sekarang? Kenapa tidak disini saja? Sebentar lagi, bisakan?" Rui memohon. Tapi hanya gelengan yang ia dapatkan sebagai jawaban, "baiklah, tahun depan saja kakak datang ke sini lagi, janji?!" Rui mengalah, dua jari kelingking ia julurkan ke arah kakak, sebagai tanda janji yang sungguh-sungguh harus dipenuhi pada waktu yang ditentukan.

     "Maaf ya Rui!" lirih suara kakak meraih jari kecil sang adik yang sangat dicintai, "maafkan kakak dan tolong sampaikan pada ibu, maaf karena kakak tidak pulang waktu itu!" bisiknya sambil melepas kaitan dua pasang jari kelingking yang sebelumnya terpaut.

     Rui hanya menunduk sedih, airmatanya tak lagi mampu dibendung. Ia sangat menyayangi kakak, merindukannya dan terpaksa untuk kali ini harus bersabar menunggu pertemuan berikutnya, tahun depan.

     Lima menit kemudian, gadis kecil itu masih berdiri mematung dibelakang pintu. Rasa sedihnya berangsur hilang. Ibu muncul dengan wajah heran karena pintu rumah tidak dikunci. Bertambah heran lagi ketika melihat Rui berdiri di balik pintu dalam posisi seperti menyambut kedatangan ibu.

     "Rui tidak melanggar perintah ibu, kan?" selidik ibu curiga.

     "Tidak, Rui dirumah saja seharian ini." Jawab Rui apa adanya, lantas berlari meninggalkan ibu yang masih berdiri di dekat pintu, menuju meja kecil disamping televisi ruang tengah. Menatap foto-foto.

     "Kamu sudah makan?" tanya ibu lagi.

     "Belum, tapi Rui masih kenyang, bu!" kali ini suaranya lebih nyaring agar terdengar, sebab ibu kini sudah masuk ke dalam kamar.

     "Kamu ini ..., jadi apa sih yang kamu kerjakan? Pintu rumah tidak dikunci, terus belum makan dari siang tadi." Protes ibu pada Rui.

     "Tadi kakak datang, bawa makanan, kami makan bersama dan barusan kakak sudah pulang." Jelas Rui pada ibu.

     "Bicara seperti itu lagi, kamu ini aneh. Jangan bikin ibu khawatir dong! Eh, tadi pagi ibu sudah mencuci, ya?" Ibu tampak bingung setelah keluar dari kamar dan melihat jemuran di halaman samping terisi penuh dengan pakaian yang dapat dipastikan sudah kering.

     "Rui yang mencuci bersama kakak siang tadi." jawab Rui polos, sambil tetap menatap foto-foto yang terpajang di atas meja kecil samping televisi.

     Mendengar celotehan anaknya barusan, membuat ibu semakin bingung. Rekaman kejadian yang sama setahun yang lalu seperti terulang.

     Hari yang sama, Rui selalu menceritakan kedatangan kakaknya, Rei yang telah meninggal. Semua aktifitas yang menurut ibu mustahil dikerjakan oleh Rui, pada kenyataannya memang dapat dilakukan dengan bantuan kakak, begitu saja penjelasan yang Rui berikan.

Tamat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah