Goggle |
Masa hidupku sudah habis. Selama ini, aku hanya menjalankan hari-hariku dalam kesendirian.
Memandang kehidupan dari atas sini tampak begitu menyenangkan. Angin membelai tubuhku, dinginnya terasa menusuk tulang.
Dari ketinggian banyak sekali yang dapat diamati. Ibu-ibu yang pergi dan pulang ke rumah dengan keranjang belanjaan yang penuh, para lelaki yang meninggalkan rumah di pagi hari dan kembali kala senja mulai lengser, langit menjingga. Lalu, anak-anak yang berlarian riang sepulang sekolah.
Aku menikmati kesendirian ini dengan suka cita, hingga sampai pada waktu aku tergeletak tak berdaya di atas tanah dingin, kotor dan basah. Sendiri itu sungguh tidak menyenangkan. Aku meminta kesempatan, ingin menemuinya. Pria di balik jendela itu.
-------
"Ga .., Saga, bangunlah! Hari sudah siang."
"Emm ... siapa?"
"Ini aku, ah ... sudahlah, percuma rasanya bicara sama orang yang nyawanya belum ngumpul. Aku berangkat duluan!"
Dasar pengganggu. Aku menggerutu. Mataku masih mengantuk. Tidur akan lebih baik dari pada menatap layar kosong laptop di atas meja.
Tunggu! sejak kapan gadis itu dirumahku? Bahkan aku tidak mengingat namanya sampai dengan hari ini. Otak ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi, terlalu banyak asap pekat yang gentayangan. Ah, sudahlah. Lebih baik aku tidur saja.
-------
"Sore ... Saga! Kamu sudah makan? Aku membawa dua bungkus mie ayam. Mari, kita makan!"
"Terimakasih."
"Bagaimana hari ini, apa sudah mulai menulis lagi? "
"Kamu berisik sekali, makanlah dan habiskan makananmu! "
"Ahahaha .., baiklah, biaiklah. Selamat makan."
Aroma mie ayam cukup menggugah selera makan malam ini. Gadis bertubuh mungil di depanku khusyu' menghajar potongan daging ayam. Sesekali dia mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke arah mulut, kepedasan.
"Saga, aku akan pergi ke rumah teman, kamu tidak akan keluar, kan? Kuncinya boleh kubawa, nggak?"
"Tidak perlu, pintunya tidak akan kukunci."
"Baiklah kalau begitu."
Makan malam usai. Aku kembali ke ritualku, berdiam diri di ruang kerja tanpa cahaya. Gelap, hanya cahaya bulan yang kupersilahkan masuk lewat jendela. Dari posisi dudukku, aku bisa melihat jejeran pepohonan di taman dekat komplek perumahan. Kuhirup lebih banyak udara dingin malam ini, berharap saraf-saraf di kepala bisa melahirkan ide untuk tulisanku kali ini. Sial, berjam-jam kemudian layar laptop masih tetap kosong, hanya kursornya saja yang terus berkedip-kedip, seolah-olah mengejekku.
"Aku pulang ...! Saga, kenapa gelap-gelapan, sih? Kebiasaan jelek ini namanya. Nanti matamu bisa rusak."
"Aku suka begini dan mataku memang sudah rusak, kau tidak lihat kacamata yang bertengger di hidungku ini? Nah, pergilah tidur sekarang! " ucapku ketus. Gadis ini aneh, seperti apapun aku bersikap, dia cuek dan biasa-biasa saja. Tidak merasa kesal ataupun sedih. Jangan-jangan dia sudah mati rasa. Kalau tidak salah ingat, dia pernah cerita tentang keluarganya yang tidak peduli dengannya. "Kapan ayah atau ibumu datang menjemputmu?" tanyaku kemudian sebelum dia keluar dari ruang kerjaku.
"Aku tidak tahu. Mereka terlalu sibuk. Jangan bilang kamu bosan melihat wajahku, ya! "
"Entahlah, mungkin saja suatu hari nanti aku mengusirmu dari rumahku."
"Sadis banget, sih. Aku ke kamarku dulu, ya. Selamat malam, Saga!"
-------
Ting.. Tong.. Ting.. Tong..
"Siapa?" sahutku sambil bergegas melewati ruang tamu, " ada yang bisa saya bantu, bu? " seorang ibu berdiri di depan pintu rumahku.
"Saya Ibu Danti, warga komplek disini. Ibu mau memberitahukan bahwa keamanan di sekitar perumahan ini sudah sangat mencemaskan. Ini, ada selebaran orang hilang, penculikan dan pencurian yang sekarang sedang merajalela. Kalau melihat perempuan ini segera hubungi keluarganya, ya! "
"Baiklah, bu. Terimakasih."
"Ibu permisi dulu." pamitnya meninggalkan halaman rumah.
-------
Di puncak pepohonan taman ada burung gagak yang bertengger dengan tenang. Matanya tajam menatap ke arah jendela, tepat dimana aku sering duduk melihat pemandangan di luar sana. Mata kami bertemu, terpaut beberapa saat, kami seperti berkomunikasi. Sekian detik kemudian gagak itu terbang cepat ke arahku, seakan hendak menyerang.
"Saga, kamu tidak apa-apa? mimpi buruk lagi, ya?" gadis itu menyadarkanku. Tertidur di ruang kerja pada sore hari dan mengalami mimpi buruk yang sama, berulang-ulang, sungguh sangat menyebalkan.
"Aku tidak apa-apa. Kamu baru pulang?" Aku tidak sadar kalau gadis ini sudah berada di rumah.
"Iya, kamu mimpi buruk lagi?"
"Kamu tahu? Sebelum ini, disana ada burung gagak yang sering bertengger di puncak pepohonan taman. Seminggu yang lalu aku tidak pernah lagi melihatnya. Di waktu yang sama, kamu datang mengaku sebagai kerabat jauh yang bahkan sampai sekarang aku tidak ingat siapa namamu. Pagi tadi tetanggaku menyerahkan selebaran info orang hilang dan itu kamu. Siapa kamu sebenarnya?"
"Kamu sudah menyadarinya, ya? Baiklah. Kamu benar. Aku memang bukan kerabatmu. Aku hanya ingin menyampaikan satu hal sebelum waktuku habis, Saga. Selama aku hidup, sebagian besar kuhabiskan sendirian. Kemana-mana sendiri tapi aku suka itu. Untuk pertama kalinya di batas waktuku, aku sadar dan mengenal rasa kesepian. Saga, belajarlah untuk mulai mencintai!"
"Apa, maksudmu? Lalu, siapa kamu sebenarnya?" sia-sia aku bertanya. Gadis di depanku ternyata sudah menghilang.
Malam itu, di dalam taman dekat komplek ditemukan sosok mayat seorang gadis dengan seekor burung gagak hitam disampingnya.
-------
Aku sudah lama mengamatimu. Posisi kita sama. Sendirian dan kesepian.
"Wow, Saga, tulisanmu ini keren. Akhirnya, setelah sekian lama, kamu menulis lagi. Jadi berapa lama kamu selesaikan novel ini? Ini seperti kisah nyata."
"Satu malam."
"Apa? Serius?"
"Iya." jawabku mantap sembari menyesap kopi hitam yang masih hangat.
Untukmu, terimakasih telah mengisi kesendirianku.
Tamat.
Untukmu terimakasih dariku
BalasHapusmakasih, mba Wid
HapusSaga... Tawanya mengingatkan pada seseorang... #Ops
BalasHapusSiapa, mba?
HapusIyaa... Iyaaa bener... Atau, memang kisah ini ditujukan pada seseorang?
HapusEhhmmm... Manissss...
Waduh.
HapusAku jadi pengen mie ayam...
BalasHapusahahaha..mari makan, mba.
Hapus