Langsung ke konten utama

Ayah .. Aku Ingin Bercerita


     "Kau tahu? Ibu Guru selalu bilang padaku bahwa jika aku giat belajar, maka aku bisa membaca dan tentu saja nanti aku juga bisa menulis." celoteh Xena di sore hari dengan gerimis di luar sana, "tapi aku bingung, setelah aku mampu melakukan itu, bagaimana caranya aku bisa memberitahu ayah?"

     "Itu mudah, teman! jika kau sudah mampu membaca dan menulis, maka tulislah ceritamu itu di kertas!"

     "Begitukah? ya ... ya ... tentu saja, itu cara yang bagus. Aku akan menulis ceritaku untuk ayah." Xena berjalan perlahan menuju meja belajarnya. Meja yang saat ia berusia empat tahun, dijadikan ayah sebagai hadiah untuk mengenang hari kelahirannya. Terlalu awal sebenarnya, dan ayah punya alasan untuk itu.

     "Kau mau apa dengan kertas-kertas itu?"

     "Aku hanya ingin mempersiapkannya. Tidak lama lagi aku pasti bisa membaca." ucapnya yakin dengan semangat membara.

--o0o--


     Ibu guru membawa berbagai macam bahan. Mulai dari bahan kain yang kasar sampai yang selembut sutra, biji-bijian dari yang terbesar sampai yang terkecil dan masih banyak lagi bahan yang dibawanya. Kami bermain tebak-tebakan. Kata ibu guru ini adalah salah satu cara melatih kepekaan dria taktual.

     Di waktu lain, ibu guru membawa papan Reken Plank. Katanya aku akan mulai belajar menulis dan membaca dengan itu. Banyak titik-titik di permukaannya. Awalnya aku bingung, tapi kemudian aku mengerti. Tugasku berikutnya menghafal letak titik-titik itu agar aku bisa menulis. Ini sungguh menyenangkan.

     "Apa ini, bu?" tanyaku suatu hari.

     "Ini namanya Reglette dan stilus, Xena akan coba menulis hari ini."

     Aku bahagia ketika ibu guru meletakkan kedua benda itu di tanganku. Bentuknya lucu, setidaknya menurutku begitu.

     "Waahh.. Kamu benar-benar pintar, Xena!" puji ibu guru setelah beberapa kali membantu murid istimewanya membentuk huruf menjadi kata dengan kedua alat tulis tadi.

     "Aku ingin menulis untuk ayah."

     "Apa yang ingin Xena tulis untuk ayah?"

     "Aku ingin cerita pengalamanku saat belajar membaca dan menulis."

     "Baiklah, mari kita mulai!"


--o0o--


     "Kau tau apa yang aku inginkan?"

     "Apa?"

     "Aku ingin menulis tentang ayah, sebagai hadiah untuk hari ayah nanti."

     "Menulislah jika itu maumu!"

     "Katakan bagaimana dulu ayah memilihmu sebagai temanku, Bear!"

     "Aku pikir karena saat itu aku hampir terjatuh dari rak pajangan. Kau tau bagaimana ayahmu menyelamatkanku? Dia melompat dari tempat dimana sebelumnya ia berdiri. Cepat sekali."

     "Begitukah? Aku sungguh rindu pada ayah, kenapa lama sekali ayah pergi berlayar?"

     "Aku juga tidak tahu. Tapi yang pasti ayahmu selalu berpesan padaku untuk menemanimu. Bersabarlah, ayah pasti akan pulang dan kau bisa bercerita sepuasnya nanti."


--o0o--


     "Jadi ... Xena sudah bisa membaca dan menulis sekarang? Aku senang sekali mendengarnya. Terimakasih banyak, ibu guru." Ayah Xena gembira dengan kabar yang ia terima. Jujur, sebenarnya ia tidak bisa membaca huruf braille yang di tulis anaknya. Tapi itu tidak menjadi masalah selama ada ibu guru yang tentu saja dengan rela membacakannya, "sepertinya saya juga harus belajar membaca dan menulis huruf braille agar bisa membalas surat-surat dari Xena." usulnya kemudian.

     "Itu ide yang baik menurut saya, Pak." sambut ibu guru.

     "Sekali lagi saya sangat berterimakasih, bu. Saya mohon, bimbinglah anak saya hingga tahun-tahun hukuman ini selesai!"

     "Baik, pak. Tidak masalah bagi saya. Xena anak yang baik dan penuh semangat. Tentu saja anda adalah bahan bakar semangatnya itu. Semoga ujian yang bapak hadapi ini segera berakhir."

     Ibu guru keluar dari lapas, ada amanah besar yang diberikan padanya, membimbing Xena yang masih berusia enam tahun itu untuk belajar mandiri. Gadis kecil itu tidak lagi memiliki ibu sejak ia dilahirkan. Dan kini, Xena juga terpisah dari Ayahnya, sebab harus mempertanggungjawabkan kesalahan awak kapal yang menyebabkan korban jiwa ketika kapalnya meledak.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah