Hanya garam yang dapat memahami asin pada dirinya. Ketika yang lainnya tak kunjung kumengerti. L .., ini kalimat pembuka pada puisimu. Bintang senja.
Kali inipun demikian, dengan aku yang mulai mampu memahami pencarianku. Beberapa prosa liris mengambil sebagian hatiku. Tidak rela rasanya hidup berjalan dengan timpang. Sama seperti dulu. Ketika tinta penamu menjeratku dalam kantong-kantong aksara.
Aku mulai berenang dalam lembar-lembar sajak, menatap, menjamahnya lantas tersenyum bersama jari-jari waktu yang berlalu.
Pencarianku mulai genap kini. Kunci-kunci peti imajiku terbuka hanya dengan mendengar senandungnya. L .., dia seperti kamu yang misterius di lembar lidah. Menuntunku mengenal ladang sastra lainnya tanpa sengaja. Sayangnya aku tidak mampu berterimakasih layaknya manusia pada umumnya, karena dunia kita sesungguhnya ada diantara langit dan bumi.
Aku berharap dia selalu dapat mengisi tembang-tembang dalam akar puisi ini, L. Jikapun tidak, setidaknya dia telah membuka kunci peti imaji yang selama ini bungkam dalam sepi. Bagai perahu yang kehilangan layarnya, pun pena yang kehabisan tinta.
L, dimana kamu?
Aku khawatir dengan kesudahan makhluk-makhluk seperti kita, yang menemui ajalnya di dunia antara langit dan bumi tanpa terdeteksi. Hanya meninggalkan ukiran keabadian dalam goresan tinta. Lantas terkubur sepi kembali dalam peti imaji. Tertidur lelap.
L, dimana kamu?
Habiskah tintamu, teman?
Aku harap kau tidak memilih untuk tidur abadi.
Kali inipun demikian, dengan aku yang mulai mampu memahami pencarianku. Beberapa prosa liris mengambil sebagian hatiku. Tidak rela rasanya hidup berjalan dengan timpang. Sama seperti dulu. Ketika tinta penamu menjeratku dalam kantong-kantong aksara.
Aku mulai berenang dalam lembar-lembar sajak, menatap, menjamahnya lantas tersenyum bersama jari-jari waktu yang berlalu.
Pencarianku mulai genap kini. Kunci-kunci peti imajiku terbuka hanya dengan mendengar senandungnya. L .., dia seperti kamu yang misterius di lembar lidah. Menuntunku mengenal ladang sastra lainnya tanpa sengaja. Sayangnya aku tidak mampu berterimakasih layaknya manusia pada umumnya, karena dunia kita sesungguhnya ada diantara langit dan bumi.
Aku berharap dia selalu dapat mengisi tembang-tembang dalam akar puisi ini, L. Jikapun tidak, setidaknya dia telah membuka kunci peti imaji yang selama ini bungkam dalam sepi. Bagai perahu yang kehilangan layarnya, pun pena yang kehabisan tinta.
L, dimana kamu?
Aku khawatir dengan kesudahan makhluk-makhluk seperti kita, yang menemui ajalnya di dunia antara langit dan bumi tanpa terdeteksi. Hanya meninggalkan ukiran keabadian dalam goresan tinta. Lantas terkubur sepi kembali dalam peti imaji. Tertidur lelap.
L, dimana kamu?
Habiskah tintamu, teman?
Aku harap kau tidak memilih untuk tidur abadi.
Terimakasih kamu, Ku tunggu goresan aksaramu
BalasHapusBaiklah-baiklah. :D
Hapus(sambil angkat tangan)
Tunggu... Aku akan bangun, segera ;)
BalasHapus