Kamu ingat? Kita pernah bersama waktu memulai perjalanan seribu langkah dari satu langkah kecil. Mencium bibir pantai, membelainya, lantas diam-diam mengambil sekerat senyum daratan kembali menuju lautan.
Kerinduan ini jelas terlihat. Aku tidak pernah ingin hidup lagi, di tempat dimana kamu tidak ada di dalamnya. Tuhan pun tidak juga memanggilku. Mungkin Dia marah, seperti aku yang marah pada Dia.
Saatnya menjauh dari jurang kehilangan, mencari jalan. Sauh kuangkat, nekad. Pengembaraanku jelas. Aku akan pulang, menemuimu.
Ada petuah yang kita simpan tentang lautan. Bagaimana mengusiknya adalah pantang larang.
Kutabur remah-remah kulit telur ke lautan.
Hamparan sutra biru tua terlihat berkilau didebui sinar rembulan. Langit malam ini indah, diiringi suara riak air laut dipermainkan angin. Terdengar seperti rayuan memanggil hujan jadi badai.
Petuah kupantang, maaf, tapi ini caraku pulang. Riak air laut menggarang, berubah gelombang.
"Datanglah hujan, badai, marahlah dan bawa aku pulang!"
Benarlah kata para tetua. Laut benci dengan hal sepele itu dan aku benci terlalu lama berpisah dengan kamu.
Kutabur lagi remah kulit telur ke lautan.
#MU-3
Komentar
Posting Komentar