“Aaaaa...aaaa…aaa…” terdengar teriakan dari kamar dekat ruang tamu.
“Tara, ada apa” tanya bu Jaya panik setengah berlari dari
arah dapur. Lantai rumah sedikit berdecit karena menahan beban tubuh istri
kepala kampung Karang itu.
“Ada … darah, bu. Ada darah di ... dimana-mana.” Jawabku masih
dengan nafas terengah-engah. Kubenamkan wajahku diantara kedua lutut setelah mundur ke sudut ranjang, sambil dengan tangan gemetar menarik selimut tebal yang ditutupkan ke seluruh tubuh, menyisakan kepala yang tetap menunduk.
Bu Jaya memeriksa keadaan di sekitar. Aku masih belum mampu bergerak,
tetap dengan posisi memeluk lutut. Jantungku berdetak lebih cepat dari
biasanya. Keringat dingin terbit melengkapi rasa takut yang masih menyelimuti
ruang tempatku meringkuk. Sebuah ruang tidur dimana bu Jaya dengan rela
menyerahkannya padaku, dan untuk sementara waktu, wanita baik itu harus
mengungsi ke kamar anak laki-lakinya.
Bu Jaya dengan tubuh tambunnya itu masih mondar-mandir di hadapanku.
Mencari atau memastikan sesuatu untuk membuktikan kebenaran perkataanku. Aku memang seseorang yang tidak pernah dia kenal sebelumnya, namun perhatian dan
kasih sayangnya melebihi kerabat bahkan saudara.
“Tara, tidak ada darah seperti yang kamu katakan tadi. Ruangan
ini bersih, tanah di luar jendela juga bersih. Mungkin tadi kamu sedang
bermimpi.”
Aku sangat yakin ada begitu banyak darah berceceran tadi, di
lantai kamar, di dinding, bahkan cipratan darah itu sedikit mengenai wajahku. Tidak mungkin aku
berbohong atau bermimpi, itu tampak nyata dan jelas di depan mata. Tapi, darah
apa tadi? Atau, darah siapa? Aku mulai mempertanyakan kewarasanku. Siang hari
dengan cahaya terang benderang begini apa mungkin aku bermimpi atau berhalusinasi?
“Minumlah!” Bu Jaya membawa dan menyodorkan segelas air untukku. Rasanya
dingin dan menyegarkan. “Ini sudah kesekian kalinya, bukan?” tanya bu Jaya
sedikit berhati-hati. Aku paham dengan kalimatnya tadi. Ya, aku yang salah, ini
memang sudah beberapa kali terjadi. Sejak aku ditemukan di bawah jurang dan
dibawa kesini, setidaknya itulah informasi yang mereka berikan padaku.
****
Aku tidak mengingat apapun. Mereka memanggilku Tara, itu
karena pada jaket yang aku kenakan tertulis 'T. Ara'. Meski aku tidak yakin
itu namaku. Matahari sudah terbenam sejak limabelas menit yang lalu. Aku berjalan
keluar rumah untuk mengambil air di sumur. Walau menumpang dan selayaknya
dianggap tamu, aku toh tetap harus berusaha untuk tidak menyusahkan keluarga
kepala kampung.
Hampir satu minggu aku tinggal disini, luka-luka ditubuhku
pun telah mengering. Tidak terlalu parah memang, kebanyakan luka goresan sebab
bebatuan dan ranting-ranting berduri menggesek kulit. Di kepalaku juga ada luka. Mungkin benturan
keras yang membuatku lupa ingatan.
Pak Jaya bilang, aku ditemukan tepat di dasar jurang,
posisinya ada di sebelah barat kampung karang. Aku ingin ke sana, tapi bu Jaya
selalu saja melarangku. Alasannya aku tidak cukup kuat untuk berjalan atau
alasan lainnya adalah dikhawatirkan aku tidak bisa mengingat jalan pulang.
Lelah dengan ruang kosong di kepala dan kehampaan yang mengusik dada, aku memutuskan untuk pergi ke sana, besok. Tempat di mana aku di temukan oleh pak Jaya dan anak laki-lakinya.
Di luar, burung hantu bernyanyi. Desir angin menampar-nampar dedaunan. Malam kini terasa semakin kelam.
#cerbung
Komentar
Posting Komentar