Langsung ke konten utama

Abaikan Teleponnya



Aku tidak menghiraukan dering telpon di ruang tengah. Jika itu Resti, aku pun belum siap menyampaikan kabar duka itu pada istriku. Untuk sementara waktu, biarlah Resti menikmati hadiahnya. Setidaknya itu dapat memberiku waktu.

Lima belas jam telah berlalu, sejak kejadian yang menimpa Eve. Aku melangkah ke luar rumah untuk mencari udara segar. Meski sebenarnya mata mengantuk dan tubuhku sangat lelah, aku tidak ingin berada di dalam rumah saat ini. 

"Selamat siang, Pak Edi!" sapa suara dari arah samping kiriku. Aku menoleh, mengerutkan dahi menatap laki-laki tua dengan tongkat kayu di tangan kanannya. Jujur, aku tidak mengenalnya. 

"Selamat siang, maaf... Apakah anda salah satu warga di daerah sini?" ingatanku payah, aku memang jarang sekali bergaul dengan para tetangga. Walau demikian, mereka mengenalku dengan baik. Mungkin itu berkat pekerjaan yang kugeluti. 

"Anggaplah seperti itu." jawab laki-laki tua itu dengan senyum misterius. Aku tidak bisa mengartikan senyumannya. "Kehilangan orang yang kita cintai memang menyakitkan, tapi semua itu dapat kita lalui bersama waktu. Waktu yang akan menjadi obat bagi setiap kesulitan." 

Mestinya kata-kata itu dapat menghiburku. Tapi khusus untuk saat ini ..., itu tidak berlaku. Jika saja aku dapat mengembalikan waktu, aku tidak akan pernah membawa Eve bermain di tanah lapang sambil menunggu matahari tenggelam. Atau ..., aku tidak akan tenggelam dalam buku yang kubaca selagi bermain dengan Eve, kebiasaan baik--menurutku--yang membawa bencana untuk orang yang kusayang. Andai saja aku tidak lengah, semua tidak akan berakhir seperti ini. 

"Jika ada kesempatan, apa yang akan anda lakukan, Pak Edi?"

"Aku ingin dia kembali."

"Benarkah? Anda tahu itu mustahil, bukan?" 

Aku diam seribu bahasa. Hanya menatap gerbang pemakaman, tempat Eve beristirahat untuk selamanya. Aku baru sadar, ternyata sejak keluar dari rumah tadi, kakiku melangkah menuju pemakaman Eve. Dan disinilah aku bersama seorang tua yang asing dan tidak pernah kulihat sebelumnya. 

"Anda tahu legenda tanah subur di atas bukit? Tempatnya tidak jauh dari tempat tinggal anda?" tanyanya mengalihkan perhatianku yang sedari tadi menatap tanah pemakaman. 

"Tidak, aku tidak pernah tahu jika ada cerita atau legenda seperti itu. Kami baru empat tahun ini menempati rumah panggung di atas bukit. Tepat dua bulan setelah Eve lahir." hatiku gerimis mengingat bagaimana keberhasilanku mulai terlihat semenjak Eve lahir. Gadis kecilku yang cantik itu membawa keberuntungan dalam hidupku. Aku bahkan mampu menjadi penulis best seller untuk sekian buku yang kulahirkan berturut-turut. 

"Tanah subur itu sesuai dengan namanya, Pak Edi. Menakjubkan sekaligus menakutkan. Kita tidak akan pernah mampu berpikir bagaimana bisa alam menciptakan kehidupan baru dalam satu putaran hari." 

"Kehidupan baru? Apa maksud anda?" aku penasaran dengan cerita laki-laki tua itu. Ketika aku berbalik hendak menghadapnya, laki-laki tua itu tidak ada. Dia hilang. Serta merta darahku berdesir ada rasa takut menyelinap ke rongga dada. "Pak..., Pak..., anda di mana?" hatiku kadung penasaran meski takut lebih dulu hadir. 

**********
Jika kalian adalah Edi, apa pilihan yang akan diambil untuk melanjutkan cerita ini:
1. Pulang ke rumah. Yang penting, pergi dari situ. 
2. Mencari tahu keberadaannya

Tinggalkan komentar untuk menandai bagian ini. 

#cerita belem selesai
#tantangan kelas Fiksi-6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menggali Potensi Mulai dari yang Disukai dan Dikuasai

 Gali Potensi Ukir Prestasi  Resume ke-4 Gelombang 29 Senin, 26 Juni 2023 Narasumber: Aam Nurhasanah, S. Pd Moderator: Muthmainah, M. Pd KBMN 29-Pertemuan keempat dilaksanakan pada Senin, 26 Juni 2023, dengan tema 'Gali Potensi Ukir Prestasi'. Sebelum masuk ke materi, Ibu Muthmainah, M. Pd yang akrab dipanggil bu Emut dari lebak Banten, dan bertugas sebagai moderator memperkenalkan diri serta memaparkan sedikit info tentang narasumber.  Narasumber luar biasa dengan julukan penulis luar biasa dan juga pioneer pegiat literasi Kabupaten Lebak Banten, Ibu Aam Nurhasanah, S. Pd yang juga akrab disapa bu Aam, dikenang oleh bu Emut sebagai kompor, dalam arti yang menyemangati para penulis muda untuk menghasilkan karya tulis mereka menjadi buku. Bu Aam merupakan anggota KBMN gelombang 8 yang kemudian menyelesaikan pelajaran literasinya di gelombang 12.  "Dulu, kami menyebutnya BM 12 (Belajar Menulis 12) Juli 2020. Istilah KBMN muncul saat kopdar pertama di Gedung Guru Indone...

Blog Jadi Media Belajar, Kenapa Tidak?

Blog sebagai Media Pembelajaran  Resume ke-5 Gelombang 29 Rabu, 28 Juni 2023 Narasumber: Dail Ma'ruf, M. Pd Moderator: Helwiyah, S. Pd, M.M.  KBMN 29 - Pertemuan kelima dilaksanakan pada Rabu, 28 Juni 2023. Bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.  Narasumber kali ini adalah seorang alumni KBMN gelombang 20. Beliau adalah Bapak Dail Ma'ruf, M. Pd yang akan membawakan materi 'Blog sebagai Media Pembelajaran'. Dimulai dengan kisah 'nol'-nya dalam dunia menulis, Pak Dail meyakinkan peserta bahwa jika punya niat dan kemauan, maka apa yang dicita-citakan akan terwujud. "Blog dan media pembelajaran itu apa?" Pak Dail memantik pertanyaan untuk mengurai materi yang akan disampaikannya.  Sejarah adanya blog, dikenal pada awal reformasi tahun 1998 oleh Jhon Barger.  Awalnya blog hanya dijadikan sebagai media untuk menulis buku harian, tapi kemudian berkembang hingga menjadi 12 jenis, di antaranya ada blog pendidikan, pribadi, sastra, bertopik, hukum, agama, bisnis...

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai...