Langsung ke konten utama

Hanya Ingin Pulang

Drawing Pencil 


Tubuh kedua laki-laki itu melayang setelah dihantam dengan keras oleh sebuah mobil. Satunya membentur pembatas jalan, sedangkan yang lain tertindih sepeda motornya sendiri. Jarak keduanya tidak begitu jauh. Cukup dekat, hanya dengan membentangkan kedua tangan. Hal ini membuat pria di balik kemudi mobil memiliki kesempatan untuk bersenang-senang. 

Ban mobil astrada berdecit menahan roda yang dipaksa berhenti berputar. Tangan kiri pria yang menyupir mobil sigap memindahkan posisi tuas, mundur. Keempat roda besar itu melindas tubuh-tubuh terkapar yang belum sempat bergerak untuk sekedar menepi. 

"Aarrgghhh... " jerit keduanya menahan remuk di beberapa bagian tubuh. 

Tawa-tawa membahana dari dalam mobil. Puas melihat buruannya tak berdaya. 

"Jack ..., selesaikan!"

"Saya sendirian, bang?" 

"Cepaaatt...!" teriak pria berkacamata hitam dengan suara sedikit serak. 

Laki-laki bernama Jack segera turun dari mobil. Awalnya ia sedikit ragu sebab melihat beberapa warga mulai berkumpul. Mendengar pintu mobil di sisi lain berdebam dan disusul pintu mobil bagian depan juga dibuka kemudian ditutup dengan kasar, keberanian Jack memuncak, ia tidak sendiri. Senjata tajam yang ia sembunyikan di balik jaketnya mulai bekerja. 

"Ampun, bang ... Ampun!" laki-laki di hadapan Jack merengek, meminta belas kasihan. 

"Haahh..." teriak Jack sembari mengayunkan senjata tajamnya berulang kali. Ia harus bergegas, tidak ada kesempatan untuk orang-orang seperti ini.

Sempurna, robekan di leher, dada dan perut laki-laki yang merapat ke pembatas jalan tadi menciptakan genangan darah. Kental dan segar, lantas perlahan meresap ke aspal hingga warnanya berubah kehitaman. 

Tubuh itu mengejang. Darah menyembur dari luka-luka yang menganga. Suasana pagi yang semestinya cerah ceria berganti dengan kengerian. Tidak ada satupun warga yang berani mendekat apalagi untuk sekedar berteriak menghentikan aksi pengeroyokan. Diam dan melihat dari kejauhan adalah pilihan paling aman. 

Matahari baru saja menempuh sepenggalah langit. Sinarnya keemasan menyelinap di balik rindang pepohonan. Perih dari luka yang dirasakan kedua korban pengeroyokan sudah tidak mampu digambarkan dengan kata-kata. Tinggal sesal yang menggunung, ulah dari kebodohan yang dilakukan kesekian kalinya. 

Ibu..., aku hanya ingin pulang. Batin laki-laki yang tertindih motor. Nyawanya masih berdenyut meski darah dari luka di tangannya mengalir. Nasib baik ia berada di bawah motor meski tadi terbanting cukup keras. Setidaknya, motor itu menjadi tameng bagi tubuhnya dari sabetan senjata tajam, tentu saja ia mengenal baik orang-orang beringas tadi. 

Dalam ketidakberdayaan, dari balik helm yang masih bertengger di kepala, ia menyaksikan rekan seprofesinya melepaskan diri dari raga yang menabung banyak luka. Tubuh itu benar-benar diam sekian detik kemudian. 

Sebentar saja Tuhan, setidaknya ada setitik kebaikan yang kulakukan sebelum pulang. Air matanya tumpah. Bayang-bayang bagai slide film bergerak menguap di udara, tidak terlalu jelas, hanya sebentuk rumah dengan pepohonan rindang yang terlihat samar. Beberapa kuas, ranting-ranting dan sayup terdengar dialog berisi pujian. Menyenangkan, seperti mendengar alunan lirik-lirik lagu. 

"Rumah yang bagus, nak. Kamu pintar sekali, lukisanmu indah." 

"Ini rumah untuk ibu."

Tawa kecil, pelukan dan belaian kasih ibu terasa nyata di sela-sela airmata yang masih saja mengalir. Maafkan aku, bu. Menyusul kemudian, kelopak mata itu tidak lagi mampu dibuka. 

"Kami tidak berani melakukan apa-apa, Pak. Daripada nyawa kami ikut melayang." salah seorang warga yang menjadi saksi mata atas kejadian tadi pagi berbicara. Dua bungkus nasi uduk yang dibelinya sudah tidak lagi hangat, nafsu makannya seketika hilang melihat dua korban yang sedang diperiksa beberapa polisi. 

Bukan rahasia lagi, kejadian serupa akan dialami setiap anggota komplotan pengedar narkoba yang berusaha melepaskan diri dari kelompoknya, bertahan atau mati sekalian. Daerah di seberang sungai terpanjang pulau Borneo ini sudah puluhan tahun menjadi sarang pengedaran benda haram tersebut. Polisi tidak mampu melakukan apa-apa. Begitupun mereka yang terlibat. Lembaran rupiah masih berkuasa dan mampu memberikan apa saja untuk mereka yang ingin segera merampungkan mimpi dan harapan. 

Angin bertiup kencang. Di daerah pinggiran kota yang tampak sepi, berdiri sebuah pondok sederhana dengan dinding kayu yang mulai rapuh. Satu-satunya lukisan penghias ruang tamu itu jatuh, seketika pecah saat membentur lantai berlapis karpet, warnanya tampak pudar dan pucat. 


Lantai 2, 16 Juli 2017

#tantangan kelas fiksi ODOP

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah