"Halo...?" suaraku terdengar serak. Hampir lima belas jam aku tidak menyentuh makanan dan minuman sejak kecelakaan yang merenggut nyawa Eve.
"Halo Pak Edi. Maaf kami baru mendengar berita duka itu. Kami turut berduka cita." suara dari seberang sana ternyata bukan Rasti. Syukurlah, aku pasti kebingungan menjawab pertanyaannya tentang Eve untuk sementara ini.
"Terimakasih, maaf ini dengan siapa?" di sela-sela kesedihan tentu saja aku harus bersikap ramah.
"Saya Pak Juna, tinggal tidak jauh dari pemakaman. Apa anda punya waktu siang ini?" jelasnya yang ternyata selama ini luput dari perhatianku. Aku baru mengetahui jika ada satu keluarga yang tinggal tidak jauh dari pemakaman.
"Oh.. Pak Juna, maaf... saya tidak mengenali suara anda. Siang ini? Mohon maaf, saya ..." kata-kataku terputus. Tentu saja aku malas untuk keluar rumah dengan suasana seperti ini. Tadinya ingin kutolak tawarannya untuk bertemu. Namun suara di seberang sana lebih dulu memotong kalimatku.
"Ini terkait dengan Putri anda, Pak Edi." kata-katanya membuat telingaku berdiri. Rasa malasku musnah seketika.
"Eve...?" ada apa dengan putriku yang tidak aku ketahui?
Aku meninggalkan rumah dan berniat untuk pergi menuju rumah Pak Juna. Sedan hitam yang kukendarai meluncur dengan mulus menuruni jalan bukit. Rumah yang kubeli empat tahun lalu adalah satu-satunya rumah yang terletak di atas bukit. Rumah panggung dengan gaya klasik, sedikit jauh dari rumah-rumah tetangga yang letaknya di kaki bukit. Aku senang tinggal di sini. Sebagai seorang penulis, tentu saja suasana seperti ini sangat membantu melancarkan ide dan gagasan yang akan kugarap menjadi sebuah buku. Bahkan aku sempat bertekad tidak akan menjualnya dan pindah dari rumah ini. Tapi, setelah kecelakaan yang menimpa Eve, apa mungkin aku bisa bertahan disini?
Menuju pemakaman tempat Eve dikebumikan memakan waktu tidak lebih dari lima belas menit dengan mobil. Aku melewati lapangan rumput tempat terakhir-- aku dan Eve-- bermain bola. Hatiku gerimis mengenang semua kejadian sore kemarin. Ada sesal yang menumbuk-numbuk dada. Melemparkan bola kuning itu terlalu jauh hingga menggelinding ke arah jalan raya yang sepi adalah kesalahan fatal.
Masih lekat di mataku bagaimana Eve berlari dan melompat-lompat dengan sangat riang. Aku bahkan merasa kenangan itu seakan nyata saat ini. Eve, gadis kecilku yang berusia empat tahun itu sedang melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
Ttiiiiitttt... Ttiiittt...
Suara klakson truk dari arah belakang, berteriak nyaring, menyadarkanku yang masih betah berjubah duka memandang lapangan rumput. Aku lengah saat melintas di depan lapangan itu. Terlambat, semua berlangsung dengan sangat cepat. Sedan hitamku yang melambat di tengah jalan raya tidak sempat menepi.
"Papa... Papa... Bolanya hilang..."
Klik untuk kembali ke menu cerita utama
#lanjutkan cerita
#tantangan kelas fiksi-6
Komentar
Posting Komentar