Langsung ke konten utama

Hariku Dibaluri Hitam Pekat

Harus kuapakan mayat ini? Aku tidak tau harus melakukan apa. Melaporkan pada yang berwenang--ke pihak polisi--aku terlalu takut. Memberitahukan ke orang tuanya, ahh... Tidak! Aku khawatir bakal dituduh sebagai pembunuh.

Hariku seketika dibaluri warna hitam pekat. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba aku menemukan mayat yang tergeletak begitu saja di rumah. Lihatlah! Saking takutannya, otakku tidak mampu dipakai untuk mengingat asal mula kejadian ini.

Aku tidak begitu yakin mengenal gadis ini. Apa dia adalah anak dari salah satu tetangga yang tinggal tidak begitu jauh dari kontrakanku, atau anak kampung sebelah yang mungkin satu-dua kali pernah kujumpai di jalan menuju pasar pagi.

"Kak, bagaimana ini?" tanya adikku gusar.

"Apa?" aku melongo mendapatkan kembali seperempat kesadaran yang sekian menit hilang.

"Jangan lapor polisi, kak! Aku takut. Kita pasti dituduh sebagai pelakunya." rengek adik seraya meringkuk di sudut ruang tamu yang merangkap ruang tidurnya.

Rumah kontrakan ini hanya terdiri dari satu ruang memanjang di setiap pintunya. Menempel bersama dengan rumah kontrakan yang serupa. Itu berarti, total keseluruhannya ada lima kontrakan dalam satu atap yang sama. Oleh pemilik kontrakan, setiap ruangan--satu pintu--dibagi menjadi empat bagian hingga menghasilkan ruang-ruang kecil dengan dinding penyekat berbahan triplek tebal. Aku dan adik hanya perlu mengeluarkan uang sebesar lima ratus ribu setiap bulan untuk dapat menempati kontrakan ini.

"Sebentar, kakak perlu minum, tunggulah dulu!" jawabku sembari berdiri dan berjalan perlahan menuju dapur, ruang ketiga yang berdekatan dengan kamar kecil sekaligus berfungsi sebagai kamar mandi.

Kaki ini benar-benar lemas. Rasanya tidak ada daya untuk berjalan. Kubantu menopang tubuh dengan tangan menempel pada dinding rumah. Menuju dapur. Sial, persediaan air minum justru habis disaat-saat seperti ini. Aku lupa memesan air galon pada tauke pemilik toko kelontong dan depot air minum yang sudah menjadi langganan kami.

Tubuhku limbung, tidak mampu lagi berdiri tegak dengan kaki bergetar sejak kehadiran mayat itu. Gelas di tanganku pecah bersamaan tubuh yang jatuh berdebam menghantam lantai. 

"Kaaak... Kakak... Kakak kenapa? Bangun kak... Kakak!"

Samar-samar kudengar suara adik yang panik membangunkanku. Entah bagaimana, sebuah ide muncul seketika. Tanam saja mayat itu di belakang rumah kontrakan ini. Bukankah di sana ada selokan air yang tidak lagi terpakai? Ya, begitu saja. Itu lebih baik daripada kami--aku dan adikku mengalami kesulitan berkepanjangan. 

Masih dalam kondisi tidak sadar, rencana-rencana melenyapkan mayat itu kususun sebaik mungkin, seperti mimpi. Malam ini harus selesai. Tidak akan ada yang mencurigai kami. Aku yakin ini berhasil. 

Tapi, bagaimana tanggungjawabku dengan Tuhan? Bukankah kewajiban mengurus jenazah harus dilaksanakan? Suara-suara dalam diriku protes, menolak semua rencana yang sudah kususun tadi. Ilmu dan pengetahuan yang kudapat dibangku kuliah perguruan tinggi agama sangat bertolak belakang dengan keputusanku. 

Terasa ada batu besar yang menindih seluruh tubuh. Bongkahan batu itu berupa ketakutan, merasa terancam dan bayangan akan dosa-dosa yang pasti kuterima. Itu semua menerorku, hingga dada ini terasa sesak. Bagaimana ini? Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. 

"Kak... Bangunlah kak!" suara adik masih dapat kudengar, diselingi wajah mayat yang membeku, silih berganti keduanya perlahan menarik kesadaranku untuk kembali utuh. 

"Mayatnya... Bagaimana mayatnya?" tanyaku seketika duduk setelah tersadar. 

"Kakak kenapa? Mayat?" tanya adikku heran menatap aku yang masih berbungkus selimut dengan posisi tidak berada di atas tempat tidur.



Ruangku, 26/7/17

#aku menulis 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah