Langsung ke konten utama

Bola Takdir Eve



Rambut merah dengan dua kuncir itu bergoyang-goyang mengikuti ayunan kaki. Seorang gadis kecil sedang berlari mengejar bola. Tawanya sesekali melengking, memoles sore di lapangan berumput dengan riang.

"Eve... Jangan ke sana! Awas Eve..., Eve...!!"

Kalian tahu? Seluruh sendi tubuhku seakan lolos dari tempatnya. Tubuh Eve tidak lagi melayang di atas kaki kecilnya yang tadi berlari riang dan sesekali melompat-lompat menuruni gundukan lapangan rumput. Eve justru melayang lebih tinggi--bagai bulu-bulu angsa ditiup angin--setelah truk yang menggandeng kotak-kotak besar di belakangnya menghantam tubuh kecil itu.

"Sial... Tidak... Tidaaakkk...!!" umpat laki-laki di belakang kemudi. Dia berteriak dan tersentak sadar dengan kondisi di depannya.

Sekuat tenaga supir truk menginjak rem lebih dalam, berharap bisa berhenti tepat pada waktunya. Mengetahui kekuatan truk ukuran besar itu tidak akan mampu berhenti sesuai yang diinginkan, secepat mungkin supir truk membanting kemudi ke arah berlawanan. Terlambat. Tubuh kecil itu menghantam bagian depan truk lalu terlempar sekian meter.

Sejurus kemudian, kendaraan raksasa itu terbalik. Serta-merta kepala supir truk menghantam kaca depan, mencipta pola melingkar dan meninggalkan noda merah kental juga segar.

Samar-samar, laki-laki dibelakang kemudi itu masih dapat melihat seseorang di ujung lapangan rumput berlari ke arahnya. Tidak, perkiraannya salah,  lebih tepatnya, orang itu berlari ke arah gadis kecil yang baru saja dia tabrak. Setelah itu, semua gelap.

*****

Eve sudah beristirahat dengan tenang.  Kesunyian kembali menyeruak, menyelimuti rumah panggung di atas bukit. Rumah ini benar-benar sepi, seperti ikut mati, tidak ada lagi canda-tawa gadis kecilku yang lucu.

"Eve..., maafkan Papa."

Satu hal yang kini mengganjal dada, bagaimana caranya kusampaikan berita duka ini pada istriku?

Krriiing... Krriiing...

Pesawat telpon di ruang tengah berbunyi. Memecah lamunanku yang larut dalam kesedihan. Bagaimana kalau itu Rasti? Apa lebih baik kubiarkan saja?

Selang beberapa waktu, untuk kesekian kalinya pesawat telpon kembali berbunyi. Aku mengalah, beranjak dari tempat tidur Eve, berjalan keluar kamar--menuju sumber suara.

"Mas, apa kabar? Aku sudah di lokasi. Pemandangan disini benar-benar bagus. Andai saja Mas bisa ambil cuti... Eh... Mas, Eve lagi apa? Halo... Halo... Waah... Jaringannya gak bagus, nih! Halo... Mas?"

"Apa yang harus kukatakan setelah mendengar suaramu yang begitu menikmati kebahagiaan, Rasti?" Batinku.

Kinerjanya yang baik mengantarkan istriku pada posisi yang cukup tinggi. Hadiah akhir tahun dari perusahaan memang harus dia manfaatkan sebelum menghadapi beban dan tanggung jawab baru nantinya.

Kkrrriiiingg....

*********

Ada dua pilihan yang dapat teman-teman pilih untuk melanjutkan cerita ini:
1. Angkat telponnya.
2. Abaikan suara telpon dan pergi keluar rumah.


#cerita belum selesai
#tantangan kelas fiksi-6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah