Namanya bukit gundul, disebut begitu karena puncak bukit itu gundul. tak ada pohon-pohon yang tumbuh disekitar puncak bukit selain rumput ilalang yang tingginya melebihi satu meter, tajam dan kasar. Selain ilalang, tumbuh pula tanaman liar berduri entah apa namanya. Tanaman liar itu kecil-kecil, namun cukup untuk sekedar membuat goresan yang akan meninggalkan rasa pedih jika bergesekan dengannya. Sejauh mata memandang, pohon-pohon dapat dilihat dan berada sekitar satu atau dua kilometer dari puncak bukit, itupun hanya satu-dua, jarang ditemukan kecuali di daerah kaki bukit, disana pohon-pohonnya lebih banyak dan rapat. Entah apa sebabnya pohon-pohon tak mau tumbuh didaerah puncak, justru malah lebat di bagian kaki bukit. Aku tidak tau.
Dari puncak bukit gundul kami dapat melihat pantai dengan deburan ombak yang memanjakan telinga. Langit biru menyatu dengan warna laut, hari masih pagi, tapi kami seperti masuk dalam alam mimpi, ini indah sekali, Seperti dalam aquarium, kami tenggelam dalam warna biru sepanjang mata memandang. Bahkan hampir lupa mana laut dan mana langit. benar-benar pemandangan yang luar biasa.
Bersama dengan delapan teman, aku mendaki bukit ini sejak pukul tujuh pagi, jalannya cukup sulit ditempuh dengan kemiringan menyentuh 60-70 derajat, ditambah lagi hari sebelumnya hujan turun, maka lengkaplah kesulitan dalam mendakinya. Syukurlah hari ini cerah, lelah yang kami rasakan terbayar demi melihat keindahan alam setelah sampai dipuncak bukit.
Puas mengabadikan keindahan perpaduan warna langit dan laut pantai dengan kamera, kami memutuskan untuk segera turun karena panas matahari mulai tak bersahabat. Baru seperempat perjalanan menuruni bukit, Aish mendadak pingsan, temanku yang satu ini memang agak lemah namun punya semangat kuat untuk ikut dalam pendakian kali ini. Perjalanan terhenti, kami harus menunggu Aish sadar terlebih dahulu agar bisa ditandu. Sambil menunggu, kami menyiapkan tandu, syukurlah 15 menit kemudian ia sadar walau kondisinya lemah. Aish berkali-kali meminta maaf karena merasa sangat merepotkan teman-teman termasuk aku.
Perjalanan menuruni bukit justru semakin sulit karena posisi kami memegang tandu. Beban berat, terik matahari dan tanaman berduri benar-benar rintangan yang harus kami atasi. Jika saat mendaki kami hanya butuh waktu 3 jam untuk sampai dipuncak, maka menuruni bukit dengan kondisi seperti ini membutuhkan waktu lebih lama. Dua jam sudah kami berjalan menuruni bukit, tapi rasanya ini baru setengah perjalanan dan kami benar-benar kelelahan, syukurnya sudah banyak pepohonan disini sehingga kami dapat berteduh.
Aish sudah mulai baikan dan ia merasa mampu untuk berjalan sambil dipapah oleh dua orang teman, kanan dan kirinya. Beberapa meter kemudian kami memasuki area hutan, udara mulai terasa dingin dan agak gelap karena pohon-pohonnya lebat dan rindang, sehingga sinar matahari pun terhalang. Sebenarnya ini sangat menguntungkan kami, mengingat waktu menunjukkan pukul satu siang, dimana teriknya matahari sangat panas saat ini. Namun kondisi Aish kembali melemah, tubuhnya gemetar dengan wajah ketakutan, pucat dan berkeringat. Gina, salah satu sahabat dekat Aish berbisik kepadaku, bahwa Aish dapat melihat makhluk halus tak kasat mata. Pantas saja, Aku yang sebelumnya tau bahwa di balik bukit ini ada pemakaman tua, dapat memahami kondisi Aish saat ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, walau matahari diatas sana sangat terang, namun berbeda jauh kondisinya di dalam hutan, disini semakin gelap seperti menjelang malam ditambah lagi suara serangga hutan yang berisik tak karuan. Aku menepis semua pikiran yang menghubungkan hal-hal angker dan seram. Aish harus segera dipindahkan, ia tidak boleh berlama-lama disini. Kami memutuskan untuk kembali menandu Aish. Namun berat Aish seperti dua kali lipat dari sebelumnya. Tandu yang membawa Aish patah dan tak dapat digunakan. Kami saling berpandangan, bingung apalagi yang harus dilakukan. Menyadari suasana hati yang merangkak menuju rasa takut, Aku berinisiatif untuk menggendong Aish. Tidak ada salahnya mencoba, membandingkan tubuhku yang lebih besar dari teman-teman lainnya, Aku yakin bisa melakukannya.
Susah payah aku mengendalikan nafasku yang semakin menderu, panas didadaku semakin menjadi, tandanya tenagaku mulai menipis. Anehnya kami seperti berputar-putar dari tadi. Kami kembai ke tempat dimana Aish mulai pingsan untuk kedua kalinya, Aku menyadari itu karena melihat tandu patah yang kami tinggalkan tadi.
"Gina..!" panggilku, yang dipanggil segera menghampiri.
"Bantu aku menurunkan Aish, punggungku serasa akan patah." Aku mengeluh meminta bantuannya. Gina dengan sigap menyambut tubuh Aish dibantu beberapa teman lainnya.
Dengan nafas masih terengah-engah, aku memandang wajah teman-teman, jelas tergambar ada rasa takut dan bimbang. Salutku untuk mereka, walau dihinggapi rasa takut tapi mereka memilih diam karena itu dapat mengurangi kecemasan yang semakin mencekam. Aku yakin, jika satu saja dari mereka bersuara mengeluhkan ketakutannya, maka konsentrasi kami akan pecah, emosi akan tumpah dan kemarahan serta kekesalan tak jelas akan segera melanda.
"Apa kita harus berpencar Ri?" Tanya Ira memecah kesunyian kami.
"Jangan..!" Tolak Dinda atas usul Ira yang menurutnya tidak masuk akal. Dalam suasana mencekam seperti ini lebih baik tetap bersama dari pada berpisah-pisah. Dan itu benar menurutku.
"Kita tetap bersama saja ya, Insya Allah ini lebih baik." Aku memutuskan.
30 menit sudah berlalu, ini lebih dari cukup untuk istirahat, Aish masih tak sadarkan diri, gemetarnyapun sudah berkurang. Aku kembali menggendongnya dengan bantuan teman-teman. Saat mulai berdiri, Aku benar-benar kewalahan sebab berat badan Aish semakin bertambah berat dari sebelumnya. Sepintas Aku mendengar Aish mengatakan sesuatu.
"Jangan kemana-mana..disini saja!". Bisiknya lirih tepat ditelingaku.
"Apa..?" Tanyaku memastikan apa yang Aish ucapkan.
"Ada apa Ri?" Gina bertanya heran karena Aku seperti bicara sendiri
"Apa Aish sudah sadar, Gina?" Aku menghadap ke Gina, agar dia dapat melihat Aish lebih jelas. Gina menggeleng. Sudah kuduga, ini pasti terjadi. Makhluk itu pasti masuk dalam tubuh Aish. Ini bisa dibuktikan dari berat tubuh Aish yang semakin bertambah. Nyaris saja kuturunkan Aish dari punggungku, tapi mengingat tubuhnya sudah diikat menyatu dengan tubuhku maka itu akan rumit. Hari semakin gelap, Aku dengan rasa takut memilih bergerak mencari jalan keluar dari hutan bukit gundul ini.
Jam ditanganku menunjukkan pukul lima sore, sedangkan kami masih di dalam hutan. Kembali ketempat yang sama lagi dan lagi. Aku hampir putus asa. Tiba-tiba Zara berteriak.
"Siapa disana..!" Zara melihat sosok seseorang melintas dikejauhan.
Teman-teman lain ketakutan dan hampir menangis merasakan keputus-asaan demi mengalami kesulitan yang dialami sejak siang tadi. Aku bersimpuh dengan lututku, tak putus-putusnya berdzikir mohon pertolongan pada pemilik alam ini. Yang lain pun melakukan hal yang sama. Zara masih meneriaki seseorang yang tadi dilihatnya. Tapi tak ada siapapun, seperti fatamorgana, mungkin itu perpaduan rasa lelah, putus asa dan ketakutan, entahlah.
"Kekanan Ri..!" Aish berbisik lirih. Arah yang disebutkannya berlawanan dari rute jalan pulang. Aku curiga yang barusan bicara bukan Aish, melainkan makhluk halus yang masih nginap ditubuhnya. tapi hatiku yakin dengan apa yang diucapkan Aish.
"Jangan kemana-mana..disini saja!" Aish kembali berbisik. Tanpa berpikir dua kali aku segera meneriaki teman-teman untuk mengikutiku. Aku yakin bisikan yang pertama adalah Aish, sedangkan yang kedua pastilah makhluk itu. Rasa takutku berubah jadi energi yang entah bagaimana membuat langkah kakiku melaju gesit menembus lebatnya hutan bukit gundul. 20 menit berjalan, dari kejauhan kudengar deburan ombak. Bukit ini memang dekat dengan pantai, itu berarti kami menemukan jalan keluar. Dan benar saja tepat pukul enam saat maghrib tiba, kami benar-benar keluar dari dalam hutan. Suara ombak menyambut kami, setelah menurunkan Aish dari punggungku, syukur dan sujudku ke arah matahari yang tenggelam menyisakan semburat jingga disebelah barat. Kiblat.
Komentar
Posting Komentar