Langsung ke konten utama

Romantisme Sunyi (1)

Udara pagi masih terasa sangat dingin. Kupaksa kaki ini melangkah keluar rumah. Mengenakan sepatu khusus olahraga yang cukup lama tersimpan di rak sepatu, lari pagi kali ini kumulai dengan setengah hati sebab mata masih mengantuk. Jika saja tidak kupaksa berolahraga pagi ini, mungkin aku tidak akan mampu menahan panggilan setan diatas kasur untuk kembali tidur.

Tak banyak kendaraan di jalan raya. Aku leluasa menyeberang dan berlari ditengah jalan. Pedagang di kedai-kedai kecil yang menjual makanan khas untuk sarapan mulai berbenah. Aroma nasi kuning, nasi uduk, bubur ayam, lontong sayur menggelitik hidungku, mengirim pesan ke otak dan kemudian sinyal lapar serta merta menguat di perut. Saatnya makan, tentu saja setelah kuselesaikan rute lari pagi yang biasanya kulalui.

***

Aku mengambil posisi duduk di meja yang menghadap jalan raya. Dari tempat duduk itu, banyak hal yang dapat kulihat. Kedai yang sudah menjadi langgananku ini banyak mengalami perubahan. Mulai dari penambahan meja dan pelebaran ruang hingga penambahan gerobak yang dikhususkan menjual segala jenis kue.

Beberapa orang sudah menyantap makanan yang dihidangkan sambil ngobrol membahas hal-hal ringan. Meja di sebelah kananku misalnya, ada tiga orang gadis yang sedang membahas foto-foto mereka, tentu saja foto selfie yang jika tidak keliru, sejak aku duduk tadi, mereka sudah mengambil sekitar tujuh atau delapan gambar. Mulai dari makanan yang difoto, wajah imut yang lebih diimutkan saat akan mulai makan dan seterusnya. Mereka asyik mendokumentasikan kemudian mengupload foto-foto tersebut. Selanjutnya, gadis-gadis itu hanyut dalam mengagumi wajah cantik mereka dan sesekali mengomentari wajah-wajah lainnya di sosial media. Terkesan lucu memang, dan aneh yang seketika menjadi wajar di zaman ini.

Mengamati dan menyimak obrolan para gadis itu, aku lantas mengingat sebuah foto. Foto yang untuk kali pertama, berhasil menyedot perhatianku pada sosok siluet di dalamnya. Seorang pemuda dengan rambut tergerai sebahu. Tubuhnya yang cukup tinggi, tegap dengan bahu yang lebar tampak asik mengamati lukisan dihadapannya. Terkesan misterius.

Aku tak mampu mengalihkan pandangan mata pada hal yang lain. Seperti tersihir lantas lekat untuk kemudian lebih lama dan detail mengamati foto pemuda itu. Dadaku berdebar, ada rasa linu yang menggelitik. Selintas, kalimat tanya lahir dalam benak. Wahai pemuda, bagaimana bisa aku tiba-tiba jatuh cinta padamu? Meski tidak pernah mengenal dan bertegur sapa.

Untuk sekian lama hanyut dalam romantisme sunyi. Kuputuskan menyimpan foto itu. Berharap suatu hari dapat bertemu dan akan kusampaikan, bahwa aku suka fotomu. Oh... atau... aku suka kamu.

Bersambung.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah