Langsung ke konten utama

Petikan Dawai



Klandestine, kupanggil kamu, lelaki yang jejalkan aneka imaji rasa. Suka, duka, bahagia dan berdarah mengenal prosa. Maaf, telah lancang kuselipkan perasaan lain dalam kantong-kantong aksara.

Erat dan rapatkan serat kain tubuhmu, sebentar lagi kita sampai di tempat tujuan: gerbang kenangan.

Simak baik-baik, lalu katakan apa yang kamu rasakan. Tenanglah, akan ada yang dapat kita dengar di balik kabut pada puncak bukit.

Alunan nada dari petikan senar dawai hadirkan kekuatan, bagai menyihir, melodi indah di ujung tenggara itu hantarkan kita pada kisah yang tertinggal. Pahit manisnya sudah lama berserakan, tak terkendali.

Yakin saja dengan apa yang dirasa, jujur dengan apa yang akan diucapkan, sampaikan dengan atau tanpa suara. Bahkan mungkin bahasa tubuh akan lebih mampu dibaca.

Awan kini berkumpul, mata kita sesekali menangkap bentuk abstrak. Indah. Otakku sedikit penat dengan susunan aksara yang arusnya laju, ingin segera tumpah.

Nanti, saat layar senja terbentang. Haru akan buncah di sudut-sudut mata, kita teguk nektar dalam gelas-gelas putih iringi petik melodi enam senar, melengking, datar lalu rendah bergantian manjakan kalbu dalam kabut kelabu.

Garis-garis pelangi mengambang selepas hujan, jembatan langit yang dibentang Tuhan sempurnakan petikan senar dawai. Melodinya merdu, bekukan hatimu mengunci rapat tak bercelah.

Angin kini membungkus dingin. Sabana sambut tubuhmu rebah, sedang kamu masih membisu, memainkan rerumputan basah sisa hujan. Seketika gugur imanku, berantakan hatiku, kagum.Tuhan maafkan aku.

Nada senar perlahan hilang, ditelan teriakan camar kembali pulang kala matahari luruh. Kepaknya lelah bawa beban di perut. Tuhan adil, bukan? Dan aku pasrah, petikan dawai kini berhenti, sunyi riang menutup senja.

Urung kupanggil kamu dalam lelap. Garis senyum isyaratkan mimpimu indah. Kunikmati sesaat rautmu, seketika gugur imanku, berantakan hatiku, kagum.Tuhan maafkan aku.

Nanti, saat kokok ayam pertama terdengar, saat matahari menyapa, aku harap senyum itu masih ada, dan saat matamu terbuka, melodi indah dari petikan senar dawai diujung tenggara akan kembali membawa kita pada kisah yang akan datang.

Cerahkan jiwa, mencumbu pagi sambut Surya. Sudah, kita cukupkan saja menyimak kisah kemarin, mari katakan apa yang dirasa.

Lihatlah! Lara kini gambarkan bekumu yang belum runtuh. Tekakku demikian kering, sedang senar dawai mulai putus satu persatu. Embun telah lama gugur, gemulai dari helai rambut ikalmu. Saatnya kembali dan suaramu masih membisu, mulai menapak langkah kian jauh, lirih melodi kini mengalun, petikan sendu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah