Klandestine, kupanggil kamu, lelaki yang jejalkan aneka imaji rasa. Suka, duka, bahagia dan berdarah mengenal prosa. Maaf, telah lancang kuselipkan perasaan lain dalam kantong-kantong aksara.
Erat dan rapatkan serat kain tubuhmu, sebentar lagi kita sampai di tempat tujuan: gerbang kenangan.
Simak baik-baik, lalu katakan apa yang kamu rasakan. Tenanglah, akan ada yang dapat kita dengar di balik kabut pada puncak bukit.
Alunan nada dari petikan senar dawai hadirkan kekuatan, bagai menyihir, melodi indah di ujung tenggara itu hantarkan kita pada kisah yang tertinggal. Pahit manisnya sudah lama berserakan, tak terkendali.
Yakin saja dengan apa yang dirasa, jujur dengan apa yang akan diucapkan, sampaikan dengan atau tanpa suara. Bahkan mungkin bahasa tubuh akan lebih mampu dibaca.
Awan kini berkumpul, mata kita sesekali menangkap bentuk abstrak. Indah. Otakku sedikit penat dengan susunan aksara yang arusnya laju, ingin segera tumpah.
Nanti, saat layar senja terbentang. Haru akan buncah di sudut-sudut mata, kita teguk nektar dalam gelas-gelas putih iringi petik melodi enam senar, melengking, datar lalu rendah bergantian manjakan kalbu dalam kabut kelabu.
Garis-garis pelangi mengambang selepas hujan, jembatan langit yang dibentang Tuhan sempurnakan petikan senar dawai. Melodinya merdu, bekukan hatimu mengunci rapat tak bercelah.
Angin kini membungkus dingin. Sabana sambut tubuhmu rebah, sedang kamu masih membisu, memainkan rerumputan basah sisa hujan. Seketika gugur imanku, berantakan hatiku, kagum.Tuhan maafkan aku.
Nada senar perlahan hilang, ditelan teriakan camar kembali pulang kala matahari luruh. Kepaknya lelah bawa beban di perut. Tuhan adil, bukan? Dan aku pasrah, petikan dawai kini berhenti, sunyi riang menutup senja.
Urung kupanggil kamu dalam lelap. Garis senyum isyaratkan mimpimu indah. Kunikmati sesaat rautmu, seketika gugur imanku, berantakan hatiku, kagum.Tuhan maafkan aku.
Nanti, saat kokok ayam pertama terdengar, saat matahari menyapa, aku harap senyum itu masih ada, dan saat matamu terbuka, melodi indah dari petikan senar dawai diujung tenggara akan kembali membawa kita pada kisah yang akan datang.
Cerahkan jiwa, mencumbu pagi sambut Surya. Sudah, kita cukupkan saja menyimak kisah kemarin, mari katakan apa yang dirasa.
Lihatlah! Lara kini gambarkan bekumu yang belum runtuh. Tekakku demikian kering, sedang senar dawai mulai putus satu persatu. Embun telah lama gugur, gemulai dari helai rambut ikalmu. Saatnya kembali dan suaramu masih membisu, mulai menapak langkah kian jauh, lirih melodi kini mengalun, petikan sendu.
Komentar
Posting Komentar