Aku beri nama rindu.
Pertumbuhannya begitu cepat, bahkan jika kupangkas berkali-kali. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan hanya membiarkannya begitu saja. Ini memang sebuah pilihan dalam bentuk paling pasrah, bahkan teramat sangat pasrah.
Mungkin, cara lain untuk mengatasinya adalah dengan menggila, ketika sedang membunuh waktu. Terjebak dalam kesibukan yang lelah, hingga tulang-tulang tidak lagi mampu menopang tubuh, lalu jatuh terkulai dalam lelap yang damai.
Aku beri nama rindu.
Sebuah rasa yang sejujurnya menyiksa. Menoreh perih kulit sampai ke jantung, kemudian dengan leluasanya perih itu merambat menembus hati, hingga bernafas pun tidak lagi nikmat, lalu bergerak pun seakan penat.
Aku kehilangan kata-kata.
Tekakku sudah kering berhari-hari.
Mencuri sadar dalam bimbang.
Pikiran-pikiran yang tertawan.
Masih tepekur memandang langit-langit malam. Sepintas lupa, bagaimana cara memejamkan mata. Pada taburan cahaya aku terpaku, tersesat tanpa tahu kemana arahnya.
Dimana aku?
Gaung suaraku sigap mengumpulkan materi-materi membentuk ruang tertutup. Ada banyak cermin di dalamnya. Namun, tidak satu pun bayangku muncul. Ajaib, mata ini hanya mampu menangkap bayanganmu saja di sana.
Wahai! Maka pantaslah jika ini kusebut ingin yang memeluk--Rindu.
Rindu itu seperti memandang lautan luas, tidak ada batas dan tepian, selain harapan. Sketsanya pun samar untuk menjadi nyata, entah kapan tuntasnya.
Tepat pukul dua belas malam. Aku semakin mabuk, terbius akan kerinduan ini. Seperti penyakit yang perlahan namun pasti memasuki stadium paling tinggi. Disempurnakan jarak yang merenggut habis kendi-kendi nafasku. Aku sakit, bukan sakit sebab penyakit. Aku rindu, sungguh aku merindukanmu!!
Karena merindukanmu adalah caraku berdoa dengan tulus tentang kita.
Ya Fattah ...! Ya Fattah ... ! Bukakan jalan untukku.
Komentar
Posting Komentar