Di sisi jalan terhampar rumput liar, embun-embun satu dua terlihat masih setia bergelayut manja ditimpa sinar matahari. Tiga ekor burung gereja sedang bercanda. Terbang rendah, berputar dan sesekali menabrak temannya hingga bergulung-gulung di atas tanah. Sesaat kemudian kembali terbang sedikit lebih tinggi, masih dengan candaan yang mereka nikmati bersama.
Keceriaan mereka tampak renyah hingga sedetik kemudian berubah duka. Satu dari tiga ekor burung gereja yang menghindari patukan canda salah satu temannya tergilas motor yang melaju. Mati.
Duhai, bagaimanalah? Ini terlalu tiba-tiba, tanpa bisa diduga seperti apa akhirnya.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "hal yang paling misterius di dunia ini adalah kematian."
Bicara tentang mati maka kita akan mempelajari sisi gelap, kenapa disebut gelap? Karena tidak ada yang pernah tahu kapan masa hidupnya habis dan kapan tepatnya kematian menjemput. Maka bicara tentang mati, yang dapat dilakukan adalah mempersiapkannya.
Mempersiapkan kematian?
Iya, kita bisa mempersiapkan cara terbaik menghadapinya, mempersiapkannya dalam bentuk amalan terbaik yang mampu dilakukan.
Belajar tentang cara mati maka kita akan belajar bagaimana cara hidup.
Sejatinya hidup ini singkat, bahkan teramat singkat. Tidak jarang hidup ini diumpamakan seperti singgah di suatu tempat sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Berapa lama kira-kira waktu yang diperlukan untuk istirahat? Sebentar dan tidak lama. Demikian pula yang berlaku pada hidup. Dan bagaimana cara istirahat kita (baca: hidup) akan menentukan cara matinya kita, dalam hal ini kehidupan setelahnya. Dan mungkin juga kehidupan yang ditinggalkan.
Setiap orang tahu mereka akan mati. Semua makhluk hidup di dunia ini akan mati. Tapi, tidak seorangpun percaya itu akan terjadi pada diri mereka sendiri dalam waktu dekat. Bahkan kita seringkali menyimpan perkiraan dan menyimpulkan bahwa kita akan mati ketika memasuki usia lanjut, dalam tubuh yang semakin menua dan kondisi sakit yang entah berapa lama. Artinya, kematian itu masih lama, masih jauh di depan mata. Demikian abainya kita.
Kalau saja kita percaya, kematian itu sangat dekat, maka kita akan mengerjakan segala sesuatunya dengan cara yang berbeda.
Segala sesuatu akan terasa berkesan, segala perubahan meninggalkan pelajaran, bahkan kita berkeinginan meninggalkan kenangan terbaik atau ilmu yang bermanfaat. Kita akan melakukan dan mengerjakan segala sesuatunya dengan cara yang berbeda. Sepenuh hati. Bisa jadi kita akan mengamati semua hal dengan seksama, apa yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan akan sangat menarik untuk dilihat dan direnungi. Layaknya mengulur waktu, kita menyerap dan merekam semuanya dengan baik, seolah-olah baru pertama kali dilihat.
Mari bicara tentang kematian.
Seorang Buddhis setiap hari membayangkan bahwa di pundaknya ada seekor burung yang bertengger. Selalu mempertanyakan sekarangkah ajalku? Siapakah aku? Sudahkah aku mengerjakan semua yang perlu kuperbuat? Apakah aku telah menjadi seperti yang dikehendaki?)* Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergulir untuk mengingatkannya bagaimana mempersiapkan hidup dengan baik dan tentu saja sekaligus mempersiapkan kematian.
Seorang Muslim yang Hanif pun tidak kalah dalam mempersiapkan hidup, meyakini ia tidak pernah berdiri sendiri, karena selalu ada yang mendampingi di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Setiap hal dipertimbangkan untuk mendapat Ridha-Nya, dengan demikian ia pun telah mempersiapkan caranya untuk mati.
Mari bicara tentang kematian. Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, maka itu sama halnya dengan belajar tentang bagaimana seharusnya kita hidup.
-----------------------
*)Morrie Schwartz - Selasa Bersama Morrie.
#catatan selama perjalanan, mencicipi kecepatan putaran ban.
Komentar
Posting Komentar