Aroma obat menggelitik indra pembau Ruth. Memanggil kesadarannya ke permukaan. Mata indahnya kini terbuka sempurna. Mengamati lekat-lekat ruangan di sekelilingnya. Putih dengan sedikit campuran biru langit.
Di sisi sebelah kiri ranjangnya menempel meja kecil tempat untuk meletakkan beberapa barang. Ada sebotol air mineral di sana. Tenggorokan Ruth bereaksi setelah matanya merekam beningnya air yang terlihat segar dalam kemasan botol plastik. Mengirimkan satu kata yang dapat dicerna otaknya dengan tepat. Haus.
Ruth hendak menggapai minuman itu. Karena tangan kirinya terpasang selang infuse, maka tangan kanannya spontan bergerak hendak menggapai. Namun sebelum tangannya terangkat dari tempat tidur, jari-jarinya terlebih dahulu menyentuh sesuatu.
Perlahan Ruth memalingkan wajahnya ke arah kanan. Terlihat seseorang dengan posisi membungkuk, tidur di samping ranjangnya. Ia duduk di kursi sedangkan kepalanya menunduk di atas kasur.
“Siapa?” tanya Ruth heran dengan suara yang pelan.
Rayan tersadar demi mendengar suara Ruth barusan. Namun urung mengangkat kepalanya. Ia diserbu berbagai pertanyaan. Bagaimana kalau gadis ini kaget, lantas kembali pingsan atau, masih bagus jika itu terjadi dibandingkan jika ia berteriak dengan asumsi melihat hantu Rei dalam wajahnya. Tubuh Rayan menegang. Cemas.
Ruth yang merasa tidak ada reaksi yang terlihat dari orang tersebut, kembali fokus pada air minum di atas meja sebelah kiri ranjangnya.
Dengan susah payah ia mengangkat tangan kanannya ke atas untuk menggapai botol tersebut. Hasilnya jauh dari harapan. Alih-alih dapat, justru botol minum itu malah jatuh ke lantai.
Rayan yang mengetahui kondisi tersebut akhirnya terpaksa bangun dari duduknya dan berjalan mengitari ranjang Ruth, memungut botol itu, membukanya dan membantu gadis itu minum.
Ruth masih belum menyadari siapa pemuda yang membantunya. Haus mengalahkan rasa ingin tahu, hingga saat tegukan ketiga yang hampir meloloskan jalan air di tenggorokannya, seketika membuat Ruth tersedak lalu menyemburkan air yang akan ditelannya ke wajah Rayan.
Uhuk uhuk .., Rei?! ucapnya setengah berteriak.
Rayan sudah menduga hal ini akan terjadi. Dengan tenang ia membersihkan air dari wajah dan selimut yang turut menjadi korban Ruth.
"Tenang nona, tenang!" Rayan berusaha memperbaiki situasi yang menegangkan itu.
"Rei ?!" panggilnya lagi, namun kali ini dengan suara lebih pelan dan tenang.
Rayan memutar otak. Segera membuat dua pilihan jawaban. Mengakui siapa dirinya atau berbohong bahwa Ia adalah Rei. Tapi apa urusanku hingga sedemikian rumit membuat pilihan. Tentu saja agar beban pikiran gadis ini tidak bertambah mengingat demamnya yang belum reda. Haruskah berbohong? Batinnya berontak. Tapi tidak ada yang memaksaku berbohong, bukan? Dan tidak juga menjadi beban bagiku jika mengakui kebenaran yang memang seperti ini. Batin Rayan semakin bimbang.
Saat Rayan sibuk dengan pikirannya. Ruth dengan entah kekuatan darimana, seketika itu juga melompat memeluknya dengan sangat erat.
"Rei .., ini benar kamu? Kamu kembali. Itu semua bohong, kan? Tidak ada makam, tidak ada yang sakit dan tidak ada yang pergi. Iya, kan?" kalimat Ruth bagai peluru yang menembus dada Rayan berkali-kali. Membuatnya tidak berkutik.
"Rei, aku rindu padamu." Ruth melonggarkan pelukannya. Mengangkat wajahnya menatap Rayan yang masih mematung. Menembus mata pemuda itu jauh ke dasar hati, hingga meruntuhkan pertahanan Rayan.
Rayan hanya mampu terkesima dengan tatapan Ruth yang jenaka, tampak bahagia. Mata coklat terangnya yang bening menyihir Rayan. Melepaskan logika merubah pendirian dan menetapkan diri dengan berkata, "Iya."
Rayan abai dengan pilihan pertama. Ia berubah haluan. Tangannya melingkar, memeluk gadis itu. Tubuh Ruth masih terasa hangat. Demamnya belum lagi reda, untuk sementara waktu, ini akan menenangkannya. Pikir Rayan.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar