"Kita tunggu hujannya reda, ya!" ucapnya sembari menepuk lembut punggung tanganku. Mengalirkan sebentuk ketenangan yang entah bagaimana, selalu ada.
Langit mulai jingga. Sebentar lagi matahari pulang keperaduan. Kukenakan jaket yang sedari tadi hanya disampirkan di bahu. Dinginnya mulai menusuk.
"Sayang...!" panggilku mengalihkan pandangannya yang sedari tadi menatap jalan, "hujannya bakalan lama reda. Satu blok dari sini ada jalan besar. Di sana banyak toko-toko, beberapa ada yang menjual jas hujan. Kita beli jas hujan saja, ya?" tawarku. Perjalanan masih jauh, sedangkan jas hujan tidak tersedia di motor. Sampai kapan menunggu berteduh hingga hujan reda? Pikirku.
"Tapi sekarang hujannya masih lebat, Nda." protesnya.
"Tidak apa-apa, ada jalan pintas agar lebih cepat sampai ke toko itu." Aku memaksa. Ini harus, sebab waktu terus berputar. Satu jam dari tempat kami berdiri saat ini ada sebuah kapal kecil yang menunggu. Sampai di sana tepat waktu adalah hal yang paling penting.
Aku tahu, laki-laki di hadapanku ini pasti berat melepaskan wanita yang baru seminggu ini menjadi istrinya, pergi dan berjalan sendirian menembus hujan. Namun tentu Ia tak kuasa melarang, sebab waktu yang tersedia memang semakin sempit.
Tidak butuh waktu lama, setelah izinnya kudapatkan, segera kupacu lebih kencang kuda besi yang baru saja selesai diperbaiki. Tentu saja, aku pun harus rela jika bajuku basah oleh hujan. Jalanan lenggang, beberapa toko tutup di hari libur. Namun tidak sulit bagiku menemukan toko yang kucari.
Aroma patrikor yang tersisa di sela-sela tirai hujan terhempas ke udara, masih dapat tercium meski samar. Dua jas hujan sudah tersedia. Siap menemani perjalanan kami.
Aku melingkarkan tangan, memeluk erat laki-laki yang kucintai, terasa hangat. Sesekali, kutunjukkan arah jalan yang akan ditempuh. Matahari sempurna hilang. Gelap kini menyelimuti, bersama hujan yang masih setia menjadi teman perjalanan.
"Jam berapa sekarang, apa pelabuhannya masih jauh?"
Dua puluh menit lagi waktu yang tersisa. Dan kami baru menempuh dua pertiga jalan. "masih jauh, sayang." jawabku setengah berteriak, beradu dengan suara hujan yang mengetuk-ngetuk pelindung kepala.
Jalan kabupaten menuju pelabuhan tidak begitu mulus. Walaupun terlihat tidak ada lubang, hamparan karpet hitam itu tidak rata, bergelombang tinggi-rendah. Dengan kecepatan yang dipacu lebih tinggi, kuda besi yang kami kendarai ini sudah mirip seperti unta yang berlari disaat gempa melanda.
"apa masih jauh?" lagi, laki-laki yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta berkali-kali itu bertanya. Dia memang tidak mengenal daerah ini, dan aku memakluminya.
"Di depan sana ada pasar, setelah melewati pasar kita akan sampai di pelabuhan. Hati-hati, karena jalanannya gelap, tidak ada lampu penerang jalan."
Lima menit kemudian kami sampai di pelabuhan. Menyerahkan motor kepada anak buah kapal. Mereka dengan cekatan memindahkan dan menyusun rapi motor-motor para penumpang di bagian atap kapal. Aku lantas membayar sejumlah uang untuk jasa yang akan kami pakai selama dua belas jam nanti.
Rasa lega memenuhi rongga dada, bersyukur. Kami tidak terlambat, namun sayang, rasa lega itu hanya mampu bersemayam sebentar saja.
"Nda, kita duduk di mana?" tanyanya dengan nada sedikit protes.
Aku mengalihkan perhatian dari atas kapal ke bagian dalam kapal. Terlihat penuh sesak manusia bergelimpangan menempati lantai dan tempat duduk yang disediakan. Kapal ini jelas kelebihan muatan.
Seorang anak buah kapal yang berdiri disampingku lantas sigap, mengatur para penumpang yang mengambil bagian duduk semaunya agar mau bergeser.
Melihat tingkah penumpang-penumpang itu, Aku malah mengingat kelakar saudaraku. Dia sering menggunakan perahu seperti ini jika akan pergi ke salah satu pulau kecil yang berada tepat di bagian kaki pulau Borneo, "di kapal, kita harus belajar tega. Ini mirip perang, sedikit demi sedikit kita harus mampu memperluas daerah kekuasaan." tentu saja daerah kekuasaan yang dimaksudnya adalah sepanjang badan, bisa berbaring dan tidur nyenyak tanpa harus repot melipat kaki dan tangan.
"Dua belas jam seperti ini. Bahkan kecoa saja tidak punya tempat untuk bisa menari." Batinku.
Aku merutuki diri. Menyesal tidak memperhitungkan bahwa akhir liburan kali ini kapal akan dipenuhi oleh banyak penumpang. Kalau saja bukan karena keterbatasan waktu dan tugas membawa motor yang tadi kami gunakan kepada tuannya, sungguh aku memilih untuk pulang saja dan kembali lagi besok dengan pilihan menaiki kapal Fery. Kapal besar dengan kapasitas lebih luas dan fasilitas yang lebih nyaman tentunya.
Kuperhatikan wajah laki-laki yang kucintai, berusaha membaca suasana hatinya. Ia duduk tepat dihadapanku, terlihat lelah. Semoga Ia mampu bersabar. Kembali aku membatin.
"Sayang, sabar ya." Aku coba bersuara.
Seulas senyumnya hadir.
*****
Ceritanya kepanjangan. Disambung gak yaa?
Komentar
Posting Komentar