Langsung ke konten utama

Makhluk Asing

"Aaaa... sejak kapan kamu nangkring di sini?" aku kaget dan tidak bisa menerima kenyataan kalau makhluk kecil itu menempel dan numpang hidup denganku, "benar-benar tidak sopan!" teriakku menghardiknya yang kini tidak berdaya.

Bergayung-gayung air kutumpahkan di atas kepala. Kesal bercampur penasaran, dari mana asalnya?kenapa bisa ada di kepala? Apa mungkin makhluk itu berpikir kalau rambutku ini adalah hutan rimba yang pantas ditempati? Enak saja.

"Aresaaaaa... Kamu mandi, apa nguras bak air?" teriak ibu dari ruang dapur.

"Are lagi ngamuk, bu...!" sahutku tidak peduli dengan tetangga di sebelah yang mungkin sedang melanjutkan tidurnya.

"Cepat mandi dan isi lagi bak airnya sampai penuh!" kali ini suara ibu lebih nyaring, mengalahkan toa surau kampung. Buktinya, tetanggaku itu langsung nyetel lagu dangdut bersyair sendu dengan iringan musik disko.

Ahh.. Aku bingung, frustasi dan tak ingin bunuh diri. Saat menggosok rambut yang sedang berbusa, aku teringat papan hitam panjang bergelombang yang biasa dipakai ibu untuk mengucek pakaian. Apa mungkin bisa kubikin kehidupan makhluk-makhluk kecil itu berantakan dan tercerai berai, lalu mereka segera hengkang dari kepalaku dalam waktu singkat?

Bulu kudukku merinding kala keluar dari kamar mandi hanya dengan sehelai handuk. Dingin. Rambut panjang dan tubuh yang masih berbalur busa, tidak lantas menyusahkan langkahku bergegas ke arah dapur dan menyeret papan hitam ke kamar mandi. Ini adalah misi yang harus sukses kujalankan. Tentu saja ibu tidak boleh tahu. Sebab, jika ketahuan berkutu, rambut panjangku yang indah ini bisa dipangkasnya. Musnahlah cita-citaku menjadi Rapunzel.

Dulu ibu sering bilang, "si anu tuh, anaknya berkutu dibiarkan saja. Kalau ibu punya anak berkutu, bakal habis tuh rambut." Ibu paling benci dengan yang namanya kutu. Itu sebabnya dari kecil aku gak pernah kutuan. Nah, kalau sekarang? bisa habislah nanti rambutku dibuatnya.

Ibu terlihat mondar-mandir. Sebentar ke dapur, sesaat kemudian ke pelataran tempat mencuci baju. Kalau kuperhatikan, ibu mirip seperti orang yang sedang melakukan Sa'i. Sungguh terharu aku melihatnya.

"Aresa... Kamu lihat papan hitam yang biasa ibu pakai untuk nyuci baju, gak? Seingat ibu, tuh papan gak pernah dipindahkan kemana-mana. Kok, sekarang gak ada ya?"

Aku hanya menjawabnya dengan menggelengkan kepala. Tapi yang kumaksudkan bukan berbohong, melainkan aku gak mau jawab. "Bisa 'dinina-bobokan' ibu panjang lebar nanti." pikirku.

"Kemana sih?" ibu terlihat kesal kemudian berlalu. Sekarang, giliranku mulai menggaruk-garuk kepala yang memang gatalnya gak ketolongan.

Gara-gara kutu, ibu jadi sering 'bernyanyi'. Sudah dua hari ini telingaku terasa penuh dengan 'nyanyian' ibu. Kemarin karena kehilangan papan hitam tempat mengucek pakaian kotor. Sekarang, ibu protes sebab shampo yang baru dibelinya habis sebelum sempat ibu gunakan. Ya iyalah, sejak ketahuan berkutu, kan aku mandinya tiga sampai empat kali sehari dan tidak lupa keramas setiap kali mandi.

Aku sudah berusaha menghindar agar tidak ditanya oleh ibu. Tapi sepandai-pandainya aku menghindar, tetap saja ibu lebih jago menikung. Lagi-lagi, aku hanya menjawabnya dengan menggelengkan kepala, sedangkan hati berkata "aku gak mau jawab, bu!"  duh, aku jadi takut kualat. 

Dan, puncak dari masalah 'perkutuan' ini akhirnya meledak. Ibu terjangkit kutu yang tanpa kuakui, sudah menjadi warga di kepalaku. Rasanya aku ingin melepaskan kepala, kemudian mengucek rambutku di atas papan hitam dan menumpahkan lebih banyak shampo lagi disana.

***

Aku merasakan gatal yang luar biasa, tapi tidak kuasa menggerakkan jari sekedar untuk menggaruk penutup rambut. Takut dimarahi ibu.

"Jangan dibuka sampai nanti ibu yang suruh!" perintah ibu sambil menumpahkan cairan pembasmi kutu di kepalanya. Ibu tampak terampil sekali. Ternyata yang dimaksud ibu dengan 'habis tuh rambut' adalah seperti ini.

Saat ibu memerintahkanku membuka penutup rambut, aku merasa lega. Hal yang sama juga ibu lakukan pada rambutnya. Langkah terakhir, kami pun mencuci rambut bersama-sama.

Ibu kemudian menyisir rambutku, memeriksa dengan seksama dan memastikan agar tidak ada lagi makhluk-makhluk yang sama sekali tidak lucu itu disana.

"Nah, kalau sudah begini, kan aman. Shampo ibu jadi gak cepat habis." ujarnya sembari mengacak-ngacak rambutku.


#Day10
#30DWC
#One Day One Post

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah