Langsung ke konten utama

Tanpa Dasar Cinta



Berkali-kali kulayangkan tinjuku, menampar dan meremas wajah beku yang hanya bisa diam dan pasrah saja diperlakukan demikian. Layaknya samsak pada ring latihan. Kutumpahkan semua kesal dan amarah padanya, hingga terbit bulir-bulir keringat di dahi dan leher. Sungguh puas walau akhirnya lelah.

"Aku benci kamu, benci sekali." kulemparkan kalimat berhawa panas itu ke langit-langit kamar sembari menghempas tubuh di kasur, "kalau saja pembahasan itu tidak pernah ada dan tidak pernah ada."

Sebelum menutup mata, sekali lagi kuraih bantal yang kubuat khusus berbentuk manusia berkepala kotak tadi, mengunci dan menindihnya dengan amarah. Tentu saja bantal yang kujadikan samsak itu kulengkapi juga dengan foto wajahnya.

*****

"Tapi bu, aku kan masih mau melanjutkan sekolah, masih mau kuliah. Gimana nanti kata teman-teman kalau tahu aku nikah muda, gak mau. Aku gak mau, titik!"

"Siapa bilang kamu tidak bisa sekolah lagi setelah menikah. Kamu masih bisa sekolah, kuliah juga tetap bisa. Jangan dipikirkan apa kata orang, memangnya mereka mau mikirin masa depan kamu."

"Tapi bu.. "

"Sudah, jangan banyak tapi-tapi lagi. Sudah sebulan lebih kita membahas ini. Kamu sudah dijodohkan kakek. Jalani saja, mereka juga orang baik."

Sebulan lebih. Ya, sebulan lebih sebelas hari pembahasan ini tidak pernah selesai. Aku menolak, tapi dengan posisi sebagai anak, jelas sudah aku kalah. Patuh dan menurut adalah pilihan satu-satunya.

Langkahku gontai menuju kamar, bagai seribu jarum di hunjamkan ke kepala, sakit dan terasa berat. Kecemasan laksana hujan di siang hari. Setiap rintiknya adalah beban yang semakin kupikirkan maka semakin subur sesak tumbuh dalam ruang dada.

Kenapa kakek bisa berpikir menjodohkan aku dengan cucu teman baiknya? Ahh, seperti penjelasan ibu, bahwa orang-orang dahulu gemar sekali menjodohkan anak-anak mereka. Tanpa dasar cinta, mereka tetap baik-baik saja. Tapi, sekarang kan bukan zamannya lagi menjodoh-jodohkan. Airmataku meluncur semakin deras, membentuk aliran sungai membelah permukaan pipi. Aku benci kakek, aku benci ibu, kenapa cuma aku yang menjadi cucu kakek, nasibnya jadi anak semata wayang ya seperti ini, ketiban wasiat.

*****

"Haura, kamu di dalam?"

"Iya bu."

"Keluar sebentar, ayah memanggilmu!"

Hohoho ... Aku tahu pasti laki-laki sombong itu sudah laporan ke ayah. Baiklah, mari kita dengarkan saja apa isi laporannya. Walau bagaimanapun aku berhak membela diri. Siapapun perempuan di dunia ini pasti merasa tersinggung jika diperlakukan seperti itu.

Istirahat siang tadi aku melihat Genta--laki-laki yang sudah menjadi suamiku sejak dua bulan yang lalu. Dia bersama teman perempuan dari kelas lain yang menurut desas desus di sekolah adalah sepasang kekasih sebelum kami menikah. Pernikahan ini memang ditutupi, tidak ada yang tahu jika kami sudah menikah, dengan demikian maka aku juga tidak tahu, apakah mereka masih punya hubungan atau tidak.

Harusnya aku tidak perlu cemburu, toh aku tidak pernah suka dengannya dan dari awal juga tidak setuju dengan pernikahan ini. Tapi, kekesalanku memuncak ketika sepulang sekolah tadi dia tidak mengantarku pulang. Kewajiban yang dibebankan ayah padanya--cara yang disepakati kedua orang tua kami agar kami dekat. Aku memang tidak mengenal Genta sebelumnya, karena aku adalah siswa yang baru pindah ketika naik ke kelas tiga SMA. Pekerjaan ayah yang seringkali mendapat tugas pindah ke berbagai daerah membuat kami sekeluarga terbiasa dengan hal yang selalu baru.

Mungkin memang sudah jodoh, demikian yang sering ayah katakan, kepindahan kali ini bertepatan di daerah dimana calon suamiku tinggal. Seseorang yang sudah ditetapkan mendiang kakek untuk cucu satu-satunya, siapa lagi kalau bukan Aku.

"Haura, mulai hari ini kamu akan tinggal di rumah mertua."

"Ayah, tapi a ... aku ... aku kan-"

"Tidak apa-apa, di lain waktu kamu bisa datang kesini bersama suamimu. Sudah saatnya kamu belajar dari sekarang. Ingat pesan ayah, kamu ikuti semua arahan orangtua suamimu."

Ohh ... tidak. Aku lagi-lagi tidak bisa bicara apa-apa. Tidak bisa membantah. Aku butuh menyalurkan lagi amarah dan kekecewaan ini padanya--bantal berkepala kotak yang kulengkapi dengan foto Genta.

*****

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menggali Potensi Mulai dari yang Disukai dan Dikuasai

 Gali Potensi Ukir Prestasi  Resume ke-4 Gelombang 29 Senin, 26 Juni 2023 Narasumber: Aam Nurhasanah, S. Pd Moderator: Muthmainah, M. Pd KBMN 29-Pertemuan keempat dilaksanakan pada Senin, 26 Juni 2023, dengan tema 'Gali Potensi Ukir Prestasi'. Sebelum masuk ke materi, Ibu Muthmainah, M. Pd yang akrab dipanggil bu Emut dari lebak Banten, dan bertugas sebagai moderator memperkenalkan diri serta memaparkan sedikit info tentang narasumber.  Narasumber luar biasa dengan julukan penulis luar biasa dan juga pioneer pegiat literasi Kabupaten Lebak Banten, Ibu Aam Nurhasanah, S. Pd yang juga akrab disapa bu Aam, dikenang oleh bu Emut sebagai kompor, dalam arti yang menyemangati para penulis muda untuk menghasilkan karya tulis mereka menjadi buku. Bu Aam merupakan anggota KBMN gelombang 8 yang kemudian menyelesaikan pelajaran literasinya di gelombang 12.  "Dulu, kami menyebutnya BM 12 (Belajar Menulis 12) Juli 2020. Istilah KBMN muncul saat kopdar pertama di Gedung Guru Indone...

Blog Jadi Media Belajar, Kenapa Tidak?

Blog sebagai Media Pembelajaran  Resume ke-5 Gelombang 29 Rabu, 28 Juni 2023 Narasumber: Dail Ma'ruf, M. Pd Moderator: Helwiyah, S. Pd, M.M.  KBMN 29 - Pertemuan kelima dilaksanakan pada Rabu, 28 Juni 2023. Bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.  Narasumber kali ini adalah seorang alumni KBMN gelombang 20. Beliau adalah Bapak Dail Ma'ruf, M. Pd yang akan membawakan materi 'Blog sebagai Media Pembelajaran'. Dimulai dengan kisah 'nol'-nya dalam dunia menulis, Pak Dail meyakinkan peserta bahwa jika punya niat dan kemauan, maka apa yang dicita-citakan akan terwujud. "Blog dan media pembelajaran itu apa?" Pak Dail memantik pertanyaan untuk mengurai materi yang akan disampaikannya.  Sejarah adanya blog, dikenal pada awal reformasi tahun 1998 oleh Jhon Barger.  Awalnya blog hanya dijadikan sebagai media untuk menulis buku harian, tapi kemudian berkembang hingga menjadi 12 jenis, di antaranya ada blog pendidikan, pribadi, sastra, bertopik, hukum, agama, bisnis...

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang d...