Langsung ke konten utama

Kemponan

Tertinggal. Rombongan lebih dulu pergi. Mengejar Mentari pagi muncul sapa bumi. Puncak bukit Tanjung janji manjakan mata. Disulap dalam aquarium laut yang melangit, bersatu tanpa batas. Biru.

Masih dua puluh lima menit lagi, jalan menanjak memaksa pijakan kaki lebih erat mencengkeram batu bercampur tanah licin, sisa hujan semalam ciptakan semaraknya. Dedaunan menyimpan bulir-bulir embun. Basah. Pada semak kuharapkan kekuatan bertahan. Berpegang.

Udara bukit sejuk bertabur nafas kehidupan pepohonan rindang. Tapi tidak untukku yang gerah bermandikan keringat pembakaran. Gesekan daun cipta simfoni alami, Indah. Namun deru darahku menabuh jantung berdetak lebih. Lelah.

Astaga! Pada bulir embun kupandang bagai titik-titik air di dinding gelas. Bongkahan es berdenting riang memanggil dahaga, bertepuk sesamanya, meremas otak, hingga memompa kaki menapak cepat kalahkan beban tubuh. Jatuh.

Rangkong Gading berteriak gaduh, terganggu lantas melintas diatas tubuh kaku, pagutnya mengingatkan pada buah sewarna jingga. Astaga! Pada perih kubayangkan nikmatnya air es berwarna segar menggoda.  Bulir-bulir empuknya hanyut dalam benak. Dan kemponan sempurna selubungi nasib.

"Masih percaya pada petuah tua?"

"Tidak."

"Nasehat bijak perihal makan dan minum. Bukankah baik?"

"Itu di luar akal."

"Bagai sihir menyelinap di saraf. Sudah terlanjur mendengar, bukan?"

"Aku terperangkap."

"Petuah itu berlaku tundukkan bebalnya angkuh."

"Siapa?"

"Kamu."

"Bagaimana bisa?"

Lalu mataku berat. Membukanya mustahil. Riuh suara serangga dan rangkong menggaung. Melemparkanku pada nyanyian ibu di waktu subuh. Jangan abaikan Tuhanmu!

"Sejak kapan petuah menggantikan kutukan?"

"Sejak bijak menjadi minyak angin. Hiasi celoteh orang-orang pasar besi."

Rangkong Gading berteriak lagi, biji-bijian jatuh menyebar. Tumbuh berjenis kehidupan kemudian. Sang petani ulung terlupakan. Dibalas buruan paruh sang panglima. Tuntutan Rupiah. Nasib Rangkong di ukir lisan, memulai cerita dahulu kala. Miris, kisahnya mirip petuah tua, hampir tak ada yang percaya.

Tetesan akar pohon gantung lamban sadarkan lelapku. Mengenang Rangkong bepagut sewarna minuman menggoda, sedang bulir-bulir empuknya merusak saraf, dahaga. Berliter-liter air kurasa kurang untuk sekedar mengobatinya. Sarafku terperangkap petuah.

Bangun!

Suara ibu menghembus lantang, lalu menggedor-gedor gendang telinga. Tampak nyata. Nyanyian subuhnya mengalun merdu. Jangan abaikan Tuhanmu!

Jalan menanjak dan batu-batu dengan tanah licin seketika runtuh, semak-semak tercabut lalu menghilang di udara. Suram dan takut bercampur aduk menghasilkan dentingan es membentur dinding gelas bertubi-tubi. Bulir-bulir airnya menghinaku, abai ketika disuguhkan. Berlakulah tuah tua. Kemponan.

Bangun!

Puncak bukit masih dua puluh lima menit lagi. Suara ibu menyerap kesadaran. Dunia pun berputar. Melompat-lompat hadirkan ingatan buram. Bukit, Puncak, Rangkong langka, petuah tua, kemponan dan minuman. Terlempar, lalu masuk dalam lubang hitam. Berjejalan.

Bangun!

Segelas air pelepas dahaga tumpah, kata-kata berhamburan.

Astaga! Petuah tua berkelebat cepat.

Musnah dahagaku. Rangkong hilang bersama rimbun dedaunan hutan. Pagut sewarna jeruk pecah menyisakan asap jingga diserap udara. Keringat hujani tengkuk berbantal empuk, serupa bulir-bulir kesegaran sekaligus keresahan. Ya Salam, mimpi ini sungguh kejam.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.6)

-Topeng Ambisi- Seorang laki-laki tergesa-gesa memasuki ruangannya, setengah berlari Ia menghampiri meja kerja dan dengan kasar menarik satu persatu laci-laci yang tersusun rapi pada bagian bawah meja, kemudian mengobrak-abrik isinya. Ketika yang dicari belum ditemukan, Ia beralih pada lemari yang berada di belakangnya. Hal yang sama dilakukan, Ia pun mengacak habis isi lemari untuk mencari sesuatu yang amat berharga baginya.  "Dimana dokumen itu..kurang ajar!" Makinya pada seseorang yang ada dalam pikirannya. "Baiklah..jika ini pilihannya, akan kuturuti permainannya" Desisnya dengan rasa kesal yang tertahan. Ia tahu, wanita itu tak main-main dengan ancamannya tadi siang. Ambisinya yang terlalu besar dan menggebu-gebu secara otomatis memutuskan hubungan Simbiolis Mutualisme yang selama ini telah mereka jalin sejak setahun terakhir.  Jika bukan karena Mita yang dengan sembunyi-sembunyi memberitahukan padanya bahwa dokumen penting itu telah

Menggali Potensi Mulai dari yang Disukai dan Dikuasai

 Gali Potensi Ukir Prestasi  Resume ke-4 Gelombang 29 Senin, 26 Juni 2023 Narasumber: Aam Nurhasanah, S. Pd Moderator: Muthmainah, M. Pd KBMN 29-Pertemuan keempat dilaksanakan pada Senin, 26 Juni 2023, dengan tema 'Gali Potensi Ukir Prestasi'. Sebelum masuk ke materi, Ibu Muthmainah, M. Pd yang akrab dipanggil bu Emut dari lebak Banten, dan bertugas sebagai moderator memperkenalkan diri serta memaparkan sedikit info tentang narasumber.  Narasumber luar biasa dengan julukan penulis luar biasa dan juga pioneer pegiat literasi Kabupaten Lebak Banten, Ibu Aam Nurhasanah, S. Pd yang juga akrab disapa bu Aam, dikenang oleh bu Emut sebagai kompor, dalam arti yang menyemangati para penulis muda untuk menghasilkan karya tulis mereka menjadi buku. Bu Aam merupakan anggota KBMN gelombang 8 yang kemudian menyelesaikan pelajaran literasinya di gelombang 12.  "Dulu, kami menyebutnya BM 12 (Belajar Menulis 12) Juli 2020. Istilah KBMN muncul saat kopdar pertama di Gedung Guru Indonesia, J

Topeng (bag.3)

-Masa Lalu- Hera kecil sering kali di- bully oleh teman-temannya. Kala itu ia berusia 8 tahun, tubuhnya yang kecil dan lemah membuat ia menjadi sasaran empuk. Tidak ada satupun yang dapat membantunya, lebih tepatnya tidak ada yang mau. Sepulang dari bermain, sambutan kasar juga ia terima dari keluarga, tepatnya keluarga angkat. Hera diadopsi pada usia 2 tahun. Dengan niat sebagai pancingan agar kedua orang tua angkatnya bisa segera mendapat momongan. Tapi usaha ini belum menunjukkan hasil seperti yang diinginkan.  Saat Hera berusia 10 tahun Ibu angkatnya pun hamil. Kehamilan yang ditunggu-tunggu selama 9 tahun, sebelumnya beberapa kali Ibu angkat Hera ini sudah pernah hamil, sayangnya setiap kali hamil justru ibunya juga mengalami keguguran lagi dan lagi. Kehamilan ketiga kali ini dijaga ketat dan ekstra hati-hati, namun takdir berkata lain, saat ibu angkatnya mengandung pada usia kehamilan 8 bulan, kecelakaan tragis menyebabkan nyawa ibu dan calon adiknya itu melayang. Duka