Langsung ke konten utama

Bertemu



Aku bertemu denganmu, Tuan. 
Dalam sajak-sajak yang kutulis. 
Aku bertemu denganmu, Tuan.
Dalam lingkar malam yang sama gelapnya.

Aku lupa, apakah puisi ini pernah kutulis atau mungkin pernah kubaca. Tapi yang pasti aku sangat suka membacanya berulang-ulang. Kamu benar, aku memang tidak akan pernah berhenti menulis puisi, walau aku sendiri tidak pandai membaca puisi dengan suara lantang. Mestinya tidak seperti itu, bukan?

Dan sore ini kamu datang lagi, masih dengan wajah sendu menatap laut. Berdiri mematung sendiri hingga berjam-jam kemudian, sampai Surya benar-benar tumbang. Ada banyak hal unik yang kuperhatikan di setiap kedatanganmu. Pada tanggal yang sama, waktu yang sama dan dengan durasi yang sama pula. Lalu satu hal yang tak mungkin aku lupakan adalah apa yang selalu kamu pegang setiap kali datang ke pantai ini. Sendal jepit. Ya, sendal jepit yang tampak lusuh.

Tahun ketiga aku melihatmu, merasa aneh dengan ritual yang selalu kamu lakukan setiap tahunnya. Tanpa ragu kuhampiri kamu yang masih mematung, padahal saat itu senja diantar gerimis pulang. Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu. Tapi melihatmu basah aku tidak kuasa menahan langkah untuk menghampiri dan memayungi dari belakang tanpa sedikitpun mengganggu.

"Da, apa yang kamu lakukan disini?"

"Itu pertanyaan aneh, bukan?"

"Ya, aku tahu itu aneh, tentu saja dengan payung itu aku tidak perlu bertanya lagi."

"Kau sudah selesai?"

"Sudah sejak kau termenung menatap punggungku." kamu mencoba cairkan suasana, aku tahu matamu basah. Ya, anggap saja oleh gerimis yang mulai lebat ini.

"Gerimis ini sebentar lagi menjadi hujan lebat. Mari, kita ke terasku, akan kubuatkan secangkir kopi untukmu."

Lang, aku tidak pernah tahu alasanmu setiapkali datang kesini di waktu yang sama. Apa ini masih ada hubungannya dengan kejadian empat tahun silam? Pertanyaan ini selalu mengusikku sejak kita berkenalan. Tahun kedua ketika kamu datang lagi. Usai melakukan ritual mematung mengantar senja. Kamu mampir di terasku. Memesan secangkir kopi.

"Da, kamu melamun?"

"Nggak, aku cuma sedang berpikir."

"Tentang apa?"

"Kamu dan sendal jepit itu."

"Oh.. Ini... "

Dan mengalirlah kisah yang sudah dapat kuterka sebelumnya. Empat tahun silam. Saat laut mengamuk, puluhan orang kehilangan sanak saudaranya. Termasuk kamu, kehilangan ibu yang telah membesarkanmu seorang diri dengan jerih payahnya, kini sudah diambil oleh laut di depan kita.

"Kau tau apa yang membuatku selalu datang di waktu yang sama setiap tahunnya?"

"Tentu saja mengenang ibu, bukan?" begitu kata yang kulihat terukir di alas kaki.

"Iya, dan lebih dari itu aku menyesal."

"Kenapa?"

"Aku terlalu sibuk, sangat jarang menjenguk ibu bahkan untuk sekedar membawanya jalan-jalan." kisahmu mengalir layaknya air gunung yang selalu kunikmati setiap memulai hari, meneguknya perlahan dan mengecap kesegarannya yang murni. Tapi tentu saja ini berbeda dengan kisahmu yang pilu.

Saat ibu ditelan ombak setelah berhasil menyelamatkan anak kecil, kamu justru masih sibuk mengurus pekerjaan di kamar penginapan. Membiarkan ibu berjalan sendiri di tepi pantai. Padahal malam sebelumnya sepulang membeli sendal jepit dan mengukir nama di permukaannya--agar tidak tertukar sebab warnanya sama, kamu sudah berjanji menemani ibu berjalan-jalan di pantai.

Aku dapat merasakan apa yang kamu rasa, Lang. Penyesalan.

*****

Kita tidak pernah tahu kapan ajal datang, bukan? Dan bagaimana cara kita kembali, kita pun tidak pernah berpesan sebelumnya kepadaTuhan.

"Boleh kuminta satu puisi darimu, Da?" ini permintaanmu yang aneh, menurutku kali ini.

Aku tahu kamu tidak terlalu suka puisi, mungkin selama ini kamu mau membacanya untuk memberikan apresiasi. Ya, hanya sekedar untuk menghargaiku. "Kenapa, Lang?"

"Aku akan pindah."

"Apa mungkin ini terakhir kalinya? Apa kamu tidak akan kesini lagi?

"Bisa jadi seperti itu, empat tahun waktu yang cukup lama untuk memaafkan diri. Walau sebenarnya penyesalan itu tetap ada dan tidak akan hilang. Aku berterimakasih padamu, Da. Kau benar, sudah saatnya aku memaafkan diri. Terimakasih atas semuanya."

/1/
Aku bertemu denganmu, Tuan.
Dalam sajak-sajak yang kutulis.
Aku bertemu denganmu, Tuan.
Dalam lingkar malam yang sama gelapnya.

/2/
Lalu hujan turun membasuh jejakmu dalam gelombang pasang.
Menoreh luka di hatiku dengan menyisakan alas kakimu.
Membaca namamu sama halnya memanggil pilu
Aku runtuh.

/3/
Pada laut kutumpahkan semua rasa.
Berselimut jingga kutikam sesal.
Untukmu yang kusayang.
Telah kukemas lembar kenangan dalam epitaf bisu
Terjemahan ayat Tuhan, tentang pulang.


#OneDayOnePost


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah