“Sangat Menarik.” novel yang mulai kubaca sejak dua hari yang lalu itu kututup, lalu meletakkannya di atas meja kerja.
Masih bersandar di kursi yang setia menjadi tempat paling santai dan nyaman selama membaca, kuingat kembali kisah menemukan tanah harapan, menentukan sendiri dongeng yang sudah ditandai oleh sang penindai dan tentu saja kisah cinta mengharu biru, keseluruhan ceritanya telah menyentak-nyentak hati. Ahh … atau, bisa jadi aku yang terlalu sensitif akhir-akhir ini.
Dongeng-dongeng yang bagus dan menyenangkan pastinya membuat siapa saja yang mendengarkan memiliki harapan baik dalam kehidupannya, walau kadang beberapa terdengar tidak masuk akal.
"Harapan, yaa... Harapan." kuhembuskan nafas berat ke udara. Mengingat kisah yang pernah dibagi seorang ibu tua seminggu yang lalu.
*****
"Kenapa ibu duduk disini sendirian?"
"Ibu ingin menyelesaikan rajutan ini." jawabnya sambil mengangkat kain wol yang dibentuknya memanjang.
"Warnanya abu-abu, ini untuk ibu? Tumben, biasanya ibu memilih warna yang cerah seperti perpaduan perangkat makanan yang terkenal mahal itu.
"Hahaha... Kamu ini, ada-ada saja." tawanya pecah. Tangan yang telah berkeriput itu lalu meraih pipiku, lantas mencubitnya dengan lembut. Aku senang jika ibu tua yang satu ini tertawa, karena akan banyak cerita mengalir, kisah hidupnya.
"Ini untuk dia yang pernah mengisi hari-hari ibu."
"Yaah... Aku kecewa, bu. Tadinya aku sempat ge er loh, bakalan dibuatkan syal keren dengan warna pilihan ibu." rengutku sambil mengambil posisi duduk disampingnya, "tapi gak apa-apa deh, aku kebagian ceritanya saja."
"Hahaha... " tawanya lagi masih dengan tangan yang perlahan merajut kembali benang wol. Wajahnya tampak senang sekali, memulai cerita.
Dulu, ibu pernah mendapatkan hari dimana kebahagian bagai buah-buah yang ranum di tangkainya, siap dipetik kapan saja diinginkan. Saat itu seorang pria datang ke tempat ibu bekerja, sebagai seorang pegawai tata usaha yang lebih banyak berurusan dengan administrasi sekolah, ibu jarang sekali bergabung dengan rekan-rekan lainnya ketika jam istirahat dan makan siang tiba.
Laki-laki yang belakangan ibu ketahui namanya mirip dengan artis India itu membawa sekotak nasi, khusus untuk ibu. Nasi lengkap dengan lauk pauk khas acara pesta ulang tahun. Keponakannya hari itu merayakan ulang tahun. Dia yang selama ini memperhatikan ibu dari jauh, kali itu memiliki kesempatan untuk memperkenalkan diri. Bisa ditebak, setelah hari itu, ibu semakin dekat dengannya. Mulai dari paket makan siang yang diantarkan secara khusus sampai dengan tawaran antar jemput. Sebulan kemudian, ibu dan laki-laki penuh perhatian itu memutuskan untuk menikah.
Aku tatap wajahnya yang berseri-seri menuturkan kisah cintanya. Pasangan yang bahagia pastinya. Namun diluar dugaanku, kisah itu justru sebaliknya. Tiga bulan setelah pernikahan, suami ibu meninggal. Sakit yang terlalu mendadak merenggut nyawa, merenggut manisnya rumah tangga yang masih penuh bunga di setiap sudut ruang rumah tangga.
"Saya turut berduka cita, bu."
"Tuhan selalu punya rencana, nak."
Tegar, satu kata yang kusematkan di bahunya. Bagaimana tidak, selepas kepergian suaminya, rumah tempat tinggalnya disita. Hutang harus dibayar, dengan demikian maka tidak ada lagi yang akan menjadi penghalang untuk mendiang suaminya memperoleh kelapangan di alam sana.
Menyewa satu kamar kost adalah pilihan ibu selanjutnya, hidup sebatang kara sejak kecil tidak membuatnya kesulitan menjalankan hidup dalam kesendirian. Saat membereskan barang-barang mendiang suaminya, ibu menemukan kotak berukiran sangat indah dalam kardus yang sejak mereka menempati rumah baru, belum pernah dibuka.
"Apa isinya, bu?"
"Kebahagiaan." Keningku berkerut mendengar jawaban ibu, kebahagiaan seperti apa yang dimaksud, "kau tahu, itu adalah keinginan setiap pasangan, kebahagian setiap pasangan dan harapan setiap pasangan."
"Anak? Tapi bagaimana bisa?" aku mulai meragukan kewarasan ibu tua yang masih dengan lincah dan sangat mahir merajut benang-benang wol menjadi satu kesatuan.
"Ini untuknya." ibu mengangkat syal yang masih setengah jadi itu setinggi wajah. Menunjukkan padaku sekaligus menjawab kebingunganku, bahwa itu bisa saja. Toh orangnya memang ada.
Aku tidak berani bertanya lebih jauh, kuputuskan untuk diam dan memperhatikannya saja, sampai waktu makan malam tiba dan tugasku selesai pada hari itu, kemudian berpamitan dengannya juga kepada penghuni panti jompo lain yang bersiap menyambut lelap.
******
Kalian tahu apa yang paling mengejutkan? Ya, sebuah berita. Tepatnya, berita kematian.
Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan berita kematian ibu tua. Begitu mendadak. Tuhan selalu punya rencana. Kata-kata ibu tua berputar-putar di kepalaku.
"Ini barang-barang ibu tua, kami pikir kau lebih tepat menyimpannya, atau jika tidak, kau pun berhak membuangnya." kepala panti menyerahkan barang-barang ibu tua padaku usai pemakaman, mengingat betapa akrabnya kami selama setahun ini. Aku memang mulai bertugas sejak tahun kemarin, menjadi relawan yang tiga kali dalam seminggu membantu pihak panti mengisi kegiatan di panti jompo, atau sekedar menemani dan merawat penghuni panti jompo yang sakit.
"Terimakasih, Pak. Barang-barang ibu tua akan saya simpan dengan baik, sebagai kenang-kenangan."
Aku bertekad menjaga barang-barang itu. Bukan karena bentuknya, tapi lebih kepada kenangan yang tertinggal di dalamnya.
Ada kesamaan yang membuat aku dan ibu tua begitu akrab. Kami sama-sama sebatang kara sejak dilahirkan ke dunia. Karena kesamaan tadi, aku berpikir bahwa masa tuaku juga akan berakhir di panti jompo ini.
*****
Kotak berukiran indah dan syal berwarna abu-abu kuletakkan di atas meja. Hampir setengah jam aku menatap kosong kedua benda yang pastinya sangat berharga bagi ibu tua.
"Kau tahu, itu adalah keinginan setiap pasangan, kebahagian setiap pasangan dan harapan setiap pasangan."
Kembali kalimat ibu tua melintas di kepala. Membuatku semakin penasaran untuk segera melihat isi di dalamnya. Keinginan, harapan dan kebahagiaan setiap pasangan, seperti apa bentuknya?
Kuraih kotak berukiran indah itu. Perlahan membuka tutupnya. Lama tertegun mengamati isi di dalamnya, tapi tidak ada yang kutemukan selain busa yang melapisi dasar kotak. Ini hanya kotak biasa, kosong, mungkin seseorang sudah mengambil isinya. Atau, bisa jadi karena aku belum punya pasangan, sehingga apa yang diharapkan dan diinginkan oleh setiap pasangan tidak bisa kudapatkan dari kotak ini. Walau sungguh aku dulu pernah berharap sosok dia yang menjadi pasanganku. Ahh, terlalu sakit untuk kembali diingat, meski hampir setiap saat aku berusaha untuk lupa. Berulangkali kuhembuskan nafas dengan kuat ke udara, cara yang selalu kulakukan untuk mengurangi beban yang senang sekali tumbuh dan berkembang biak setiap kali mengingatnya.
Kuletakkan lagi tutup kotak pada posisinya, menyimpannya baik-baik dalam laci meja. Lalu bagaimana dengan syal abu-abu ini? Siapa dia yang dimaksud ibu tua? Bagaimana cara menemukannya?
"Kanaya, apa syal itu untukku?"
Sontak aku memutar tubuh demi mendengar suara yang tadi sangat jelas dan tepat berada di posisi belakang kursi. Reaksi tadi membuat tubuhku tidak seimbang hingga terjengkang dan jatuh bersama kursi yang kududuki.
Sebelum kepalaku menghantam lantai, sosok yang menyapaku tadi menahan kepalaku dengan sebelah tangannya sedang tangan yang lain melingkar dipinggulku. Ya Tuhan, apa ini? Kenapa bisa dia ada disini?
^.^
😢😢😢😢
BalasHapus