Langit selama ini hanya melihat. Menyaksikan semua tingkah laku brutal dan kejam tanpa belas kasihan, bahkan langit bagai pasrah menatap perilaku menggelikan sekalipun dari makhluk bumi yang dikangkangi borok-borok peradaban.
Sudah beribu-ribu tahun langit merekam kehidupan. Berdiam diri dan masih tetap biru. Cantik ketika cerah, muram di kala mendung, lantas gelap di saat malam.
Langit masih tetap sama. Sama seperti beribu-ribu tahun sebelumnya. Setia memayungi makhluk bumi dan menjadi layar waktu pergantian bagi bintang gemintang. Masih sama.
Tapi, pada Gaza, langit lusuh, seakan berjalan miring. Debu-debu dari reruntuhan bangunan menguap terbang mencium udara, menunggangi angin, lantas menatap sedih dari ketinggian, seketika elegi menjadi hujan deras.
Kisah konflik berkepanjangan ini sudah dimulai lebih dari enam puluh delapan tahun yang lalu. Saat portal rezim keji dibuka, menyambut hari petaka dikenal Nakbah bagi negeri terjajah.
Langit sewarna merah saga. Penduduk asli terusir berganti pendatang yang mahir mempermainkan ribuan nyawa.
Kerikil-kerikil menjadi saksi bisu perlawanan, beterbangan menghantam kesombongan kaum bebal yang merasa disayang Tuhan, padahal tidak demikian, sebab perjanjian itu telah lama gugur dan batal saat mereka mulai mencicipi nikmatnya darah keji dan daging dosa.
Perlawanan tidak sebanding, ribuan tubuh susul menyusul tumbang dengan dada dan perut robek menyumbang deras aliran darah ke danau-danau duka.
Gaza luka, compang-camping pakaiannya, perempuan-perempuan bermata kejora ternoda dan bocah-bocah kecil yang pincang, berlari susul menyusul dengan lajunya timah panas.
Gaza luka. Langit merah saga.
Harus kukatakan, aku mencintaimu. Pada hari-hari dimana airmataku tak henti bercucuran.
Kepedihan seperti menjadi kekal untuk tanahmu, kehidupanmu dan akar bangsamu, seperti pohon-pohon zaitun bertumbuhan dengan darah nenek moyang yang mengalir di Deir Yassin.
Gaza luka, langitnya masih merah saga. Bocah-bocah pincang berlari, perempuan-perempuan dengan mata kejora dan ibu-ibu yang melepas pergi para syuhada.
Pegang. Pegang terus kunci rumahmu, sedang aku di sini dengan seluruh perih di relung hati. Kubawa sampai mati kecuali kau telah kembali.*
Gaza luka, langitnya masih merah saga.
*EmbunPagi
#MU-8
Waow, keren, kaka...
BalasHapusAinayya belom bisa bikin macam ni, heheh
makasih, Ai.
HapusJadi ingat cerpenku tentang Gaza
BalasHapusPasti keren, Nih. :)
Hapuskeren pake banget ini mah
BalasHapusMakasih, Bang Ian
Hapus