"Sadarlah nak! Sadarlah, lihat seperti apa dia sekarang!"
Ibu menunjuk-nunjuk kekasihku, wanita yang kucintai melebihi diriku sendiri.
"Aku mencintainya, ibu. Sangat mencintainya!"
Aku tidak mampu lagi menahan tekanan dari mereka, orang-orang di balik tubuh ibu. Wajah-wajah itu ketakutan bercampur rasa jijik sekaligus belas kasihan yang tidak dapat kupahami.
*****
Siang begitu terik. Panasnya membakar kulit. Kami bergegas memasuki rumah, sekilas menatap hamparan bunga di taman yang sudah kutata sedemikian rupa sejak sebulan yang lalu. Sesuai permintaannya, tidak ada warna lain selain putih.
"Sayang, apa kamu haus? Tunggu sebentar, akan kubuatkan minuman kesukaanmu!"
Kutinggalkan kekasihku duduk sendiri di ruang tamu. Dia sedari tadi hanya diam, mungkin tubuhnya terlalu lelah sebab perjalanan jauh yang kami tempuh kurang lebih tiga jam yang lalu.
Segelas teh aroma melati sudah siap. Kutuangkan dalam cangkir kecil. Hidungku menghirup rakus baunya. Terasa segar. Diluar sana, melati-melati mekar.
"Sayang, minumlah dulu tehnya. Setelah ini kita akan memetik bunga Melati di halaman rumah!"
Kusodorkan secangkir teh untuk Dinda, kekasihku. Wanita yang baru saja kunikahi. Layaknya pengantin baru. Kebahagian kami sedang berada dipuncak. Kuputuskan untuk menjauh dari keluargaku setelah menikahinya.
"Dinda!" panggilku. Suaraku sedikit parau, ahh... Aku pun merasakan haus yang sama. "Baiklah sayang, mari kubantu. Kamu mau minum dari tegukan yang sama?" godaku sambil menatap wajahnya yang cantik, kulitnya putih dan bersih. Seputih melati.
Kuangkat cangkir teh lantas meneguknya. Kutampung sesaat di mulut, kemudian mendekatkan bibirku pada bibirnya yang terlihat ranum. Saat bibir-bibir ini bersentuhan, kulepaskan sedikit demi sedikit teh aroma melati kesukaannya, air yang terasa hangat itupun masuk perlahan-lahan memenuhi mulut mungil Dinda. Dadaku bergemuruh.
"Kamu suka?" tanyaku sembari menggeser cangkir teh ke tengah meja tanpa melepas pandangan, tetap menatap wajah cantik itu. Mengambil beberapa helai tisu dan membersihkan sudut bibirnya yang basah. "Dinda, sayang! Apa kamu ingin berbaring di kamar kita? Baiklah, mari kubawa kamu ke sana!"
Kakiku sedikit kepayahan ketika berdiri bersamaan dengan mengangkat tubuhnya, entah kenapa kali ini terasa agak berat. Ahh...padahal beberapa menit yang lalu tidak terlalu, apa mungkin aku juga merasa lelah setelah melewati serangkaian kisah bersejarah ini?
"Tidak apa-apa sayang, aku masih cukup kuat menggendongmu. Bahkan jika kau meminta lebih dari ini, aku yakin masih mampu melaksanakannya." selorohku sembari melangkahkan kaki menuju kamar.
Angin berhembus, terasa sedikit sejuk. Tirai-tirai putih bergoyang silih berganti. Kulepaskan satu persatu perhiasan yang sedari tadi memenuhi kepala Dinda. Tidak kusangka kamu akan semanja ini, cantik. Tapi biarlah. Aku pun suka melakukannya untukmu. Tetaplah diam dan jangan mengganggu konsentrasiku. Aku butuh waktu untuk melepaskan semuanya.
Kamu ingat sekitar dua bulan yang lalu? Untuk menyentuh pipimu saja aku harus pura-pura panik dan berbohong kalau ada serangga di sisi jilbabmu. Tapi, toh aku mengurungkan niatku menyentuh pipi kemerahan itu, bukan karena takut kamu marah. Tapi entah mengapa aku justru merasa lebih termotivasi untuk segera menikahimu. Dan sekarang, kamu milikku. "Apa kamu bahagia, sayang?"
*****
Beberapa kendaraan terdengar berhenti di depan rumah. Langkah-langkah kaki juga terasa begitu terburu-buru. Matahari mulai lengser dari singgasana. Ada kehidupan di belahan bumi sebelah barat yang menanti terangnya.
"Ibu tahu apa yang kau rasakan, nak. Ibu tahu. Tapi ibu mohon sadarlah! Hentikan semua ini. Biarkan dia tenang di tempat semestinya, Arya!"
Ibu berlutut. Aku sibuk menutupi istriku dengan selimut warna kesukaannya, putih. Dinda sedang tidak mengenakan jilbab. Ia pasti malu jika ada yang melihatnya seperti itu. Aku perlahan turun dari tempat tidur, mengambil jilbabnya yang tadi kuletakkan di atas meja, tidak jauh dari tempat aku berdiri.
Perlahan, kembali aku naik ke tempat tidur, menurunkan selimut putih hingga ke kaki wanita yang kucintai dan kemudian membantunya memasang jilbab. Lihatlah, apa yang ditakutkan ibu sungguh tidak beralasan. Istriku tampak cantik dengan jilbabnya, walau aku heran kenapa kulit putihnya kini semakin pucat. Senja tumbuh di balik jendela kamar kami.
Mataku menangkap wajah ibu yang berubah semakin merah. Guratan sedih bercampur marah menghiasi wajahnya yang menua. Kali ini ibu berdiri, mungkin lututnya sudah terasa sakit, sepuluh menit membujukku untuk meninggalkan Dinda sendirian di kamar sudah cukup membuatnya lelah dan tentu saja kesabarannya habis.
"Sadarlah nak! Sadarlah, lihat seperti apa dia sekarang!"
Ibu menunjuk-nunjuk kekasihku, wanita yang kucintai melebihi diriku sendiri. Ini yang kutakutkan. Aku tidak akan meninggalkan Dinda sendirian di kamar ini. Aku takut ibu akan melakukan hal yang tidak baik pada istriku.
"Aku mencintainya, ibu. Sangat mencintainya!"
Aku tidak mampu lagi menahan tekanan dari mereka. Aku kesal, tanganku meremas sisi ranjang sembari menatap orang-orang di balik tubuh ibu. Mereka sibuk berbisik-bisik. Wajah-wajah itu ketakutan bercampur rasa jijik sekaligus belas kasihan yang tidak dapat kupahami.
Tanpa kusadari, beberapa pria meringkus tubuhku dari belakang. Mereka masuk ke kamar lewat jendela yang terbuka.
"Tidak! Jangan pisahkan aku dari istriku! Dinda...! Bangun sayang, bangun!" sekuat tenaga aku berontak sekaligus berteriak. Dinda tidak juga bergerak dari tempat tidur. Bangunlah Dinda, bangunlah sayang. Tetaplah bersamaku.
Senja purna. Bunga-bunga kuncup. Dan udara dingin menggigit kulitku. Samar di kejauhan kutatap orang-orang menggotong peti putih berukir melati.
****
Komentar
Posting Komentar