Jam menunjukkan pukul 15.00 wib. Lima menit lagi azan akan
berkumandang. Sudah dari sepuluh menit yang lalu kurebahkan tubuh diatas
lantai, terasa dingin meski cuaca di luar sana panas. Kemarau mungkin akan
sedikit lebih lama kali ini, entahlah.
Anak-anak sedang memanfaatkan waktu istirahat mereka di luar
kelas. Ada yang memutuskan untuk mandi di asrama dan ada pula yang izin untuk
mandi di rumahnya saja, berhubung jaraknya dekat dari sekolah. Silahkan! Sebab
kondisi air di sekolah sedang sekarat, padahal melihat laporan BOS yang pernah
kususun, pengeluaran sekolah untuk pembayaran rekening air bersih ini tidak
sedikit. Angkanya cukup besar dan tentu saja tidak pernah telat membayar. Tapi
kenyataannya, air tampak sangat kewalahan mengalir di sini.
“Amma…!” seorang gadis manis mendatangiku. Wajahnya tertunduk
lesu, walau sebelumnya ia menyapa dengan wajah manis, tetap saja tersirat
kesedihan di sana.
“Iya. Eh.. kakak Lala, gak mandi?” tanyaku sedikit
berbasa-basi, sudah dapat kuperkirakan sekian detik berikutnya airmata itu akan
muncul.
Lala hanya menggeleng, aku tahu maksudnya. Dia bukannya
tidak ingin mandi, melainkan belum waktunya untuk mendapatkan giliran mandi. Anak-anak
sudah membuat antrian masing-masing di setiap grup, dan Lala pun demikian. Ini
dapat kupastikan setelah melirik sekilas kantong yang dibawanya, berisi
peralatan mandi dan pakaian ganti.
Benar saja, ketika kutanyakan ‘ada apa’, airmatanya seketika
mengalir, mencipta sungai kecil membelah kedua pipi yang tampak lembut itu. Aku hanya bisa diam, kemudian memperhitungkan kemungkinan penyebab
airmata itu lahir semakin deras. Tidak ada hal yang lain, ini pasti berhubungan
dengan kesulitannya dalam menghafal. Aku hafal betul karakter gadis manis satu
ini. Ambisi tingkat tinggi.
“Ada siapa saja di kelompok kakak?” kali ini bukan
pertanyaan basa-basi yang kuucapkan, aku bisa mengukur penyebabnya dari
teman-teman grup Lala.
Cukup lama waktu yang dibutuhkan Lala untuk menjawab pertanyaanku. Walau sungguh, ini pertanyaan yang sangat mudah. Berhubung isak-tangisnya belum reda, kubiarkan
saja dulu ia puas sebelum menjawab pertanyaanku.
“Ada Ufi ..., Raisa ..., dan …” suaranya kembali terputus. Lala
kembali melanjutkan acara menangisnya, aku cukup maklum hanya dengan mendengar
dua nama itu, bagiku sudah cukup menjelaskan bagaimana Lala akhirnya menemukan
kesulitan dalam menghafal pada kegiatan Mukhayyam AlQur’an kali ini.
Kuusap dan kutepuk pelan lututnya. Entahlah, apa itu untuk
menenangkan atau membuatnya segera berhenti menangis. Tapi yang pasti aku sedang
ingin bercerita. Dan tepat, caraku itu membuat Lala mengangkat kepala, kemudian
menghadapkan wajahnya padaku, tentu saja dengan mata yang sekarang tampak sembab.
Alhamdulillah, aliran sungai yang membelah pipinya sudah sedikit berkurang.
Sungguh, Aku tidak pakar dalam menasehati, membujuk atau memberi
saran serta tips-tips jitu mengatasi masalah (tanpa masalah). Aku hanya bisa
bercerita, berharap mereka yang mendengarkan bisa mengambil hikmahnya.
“Dengar, Kak! Amma punya cerita.”
--------------------------
Bersambung…
Komentar
Posting Komentar