Langsung ke konten utama

Mengukir Epitaf - Part 2



"Baiklah anak-anak kita akan belajar di lapangan kali ini."

"Yeaaa ... " sorak-sorai riuh dalam kelompok belajar yang di bimbing Kasih.

Demi mendengar nama tempat yang disebutkan, anak-anak tampak senang sekali.

Lapangan yang di sewa untuk setahun kedepan oleh pihak sekolah sebenarnya hanya di pakai untuk upacara, sebab masih banyak semak dan pohon-pohon memenuhi area sekitar.

Petugas kebersihan dari pihak yang menyewakan lapangan sedikit lamban mengurusi lapangan sewaan tersebut, bagian yg dibersihkan dan dirapikan hanya sebatas untuk kebutuhan upacara saja, selebihnya rindang dan bersemak, wal hasil kesan yang ditimbulkan sedikit angker karena tidak terawat dan rimbun.

****

"Ok, aku akan menunggumu di depan pintu lapangan."

"Yakin kau tidak ingin masuk ke dalam? Lapangan yang baru disewa ini cukup menyenangkan untuk dijelajahi."

"Aku kali ini sedang malas mengeksplore hal baru, aku tunggu di depan pintu sajalah."

"Baiklah, setengah jam lagi aku dan anak-anak selesai."

Gibran memilih menunggu di dalam mobil, makan siangnya sedikit terlambat karena harus menunggu Kasih menyelesaikan kegiatan mengajarnya.

Senyum kecil Gibran terbit setelah mengakhiri percakapan di handphone. Ada hal yang ingin ia sampaikan, hatinya kini sudah memutuskan, Kasih pasti tidak percaya dengan apa yang akan disampaikannya nanti.

Lima belas menit sudah lewat. Langit seketika suram, petir dan guntur susul menyusul menunjukkan kehebatannya. Hujan sangat deras, padahal sebelumnya cuaca panas.

"Aaaa... Aaaa ... "

Teriakan-teriakan terdengar dari dalam lapangan. Beberapa anak berhamburan keluar lewat pintu lapangan yang berukuran kecil.

"Tolooong... "

Teriakan berikutnya, beberapa dari anak-anak itu meminta pertolongan.

Gibran masih asik di dalam mobil, duduk bersandar dengan posisi setengah rebah, sembari menikmati alunan musik jazz. Kelopak matanya tertutup, hampir setengah tidak sadar karena kantuk sudah menyerangnya sedari tadi.

"Pak tolong, pak. Tolong ... "

Kaca mobil digedor dari luar, suaranya sangat berisik. Gibran terpaksa bangun, tangan kanannya mengusap wajah berkali-kali, berharap kantuknya hilang dengan hati tenang. Siapapun pasti kesal jika tidurnya terganggu.

"Iya, ada apa?" Gibran menyadari keadaan yang sangat serius dari raut wajah anak-anak remaja yang mengganggu tidurnya. Mereka tampak ketakutan.

Hujan masih deras diluar sana, Gibran menurunkan kaca agar bisa mendengar suara mereka lebih jelas.

"Tolong, pak. Ibu guru ... dan teman-teman ... di lapangan ..." tergagap mereka menjelaskan apa yang sedang terjadi. Demi mendengar kata guru, Gibran segera keluar dari mobil, pasti sesuatu menimpa Kasih.

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah