Jarum jam dinding dalam ruang lelap mengarah ke barat daya. Dua hari yang lalu tetap sama, arahnya menuju ke sana. Aku lebih senang memandangnya demikian. Merasakan betapa lamban waktu berjalan bahkan tak ada kemajuan, sedang kemungkinan lainnya sudah jauh meninggalkan. Melesat menggapai tujuan, mimpi yang direnjanakan.
Apakah waktu sudah berhenti?
"Belum, masih seperti biasanya."
Tidak ada yang berubah?
"Tidak, kecuali penunjuk waktu itu sendiri."
Dengarkan! Mari kita perbaiki waktu. Mengubahnya sesuai ketetapan jam dunia. Toh, kita masih bisa melakukan apa saja.
"Terimakasih, aku suka seperti ini."
Makhluk dalam tubuhku meronta. Meminta apa yang dia suka. Tapi aku sedang berkuasa, titahku tertinggi, melawan berarti mati. Pertarungan ini belum usai. Masih panjang dan sangat lama.
Aku tidak ingin kemana-mana. Ruangan ini saja bahkan terlalu luas untuk ditempati, tapi sekaligus sempit dan menghimpit hati. Saat langit terang di luar sana kalah ditelan malam, maka pekat gelapnya menggoyang jiwaku, ada lubang dibagian dada yang teramat sakit hingga teriakanku tak mampu membawa suara keluar dan lepas dari rongga mulut.
Sampai kapan seperti ini?
"Aku tidak tahu."
Salah, kau justru tidak pernah ingin tahu.
"Terserah!"
Andai saja kau buka celah, sedikit saja. Aku akan coba membantumu. Atau bisa jadi, mereka juga akan membantumu.
"Tidak, tidak perlu, aku suka seperti ini."
Lagi, makhluk dalam diriku membujuk. Mencoba cara yang lebih halus mengambil posisiku. Tapi aku masih berkuasa. Titahku yang tertinggi. Melawan berarti mati. Perjuangan ini masih panjang dan lama. Akan aku temukan kenikmatannya.
Kenapa malam terasa lebih panjang sekarang? Bukankankah pembagiannya sama dengan siang?
Aku hampir kehilangan cara untuk bernafas. Mengais-ngais udara disekitar yang lembab dan basah, sebab udara malam dan dinginnya telah lama bercumbu, hingga melahirkan embun di kaca jendela yang terbuka. Lantaiku basah, ranjangku basah, ruanganku basah. Romantisme sunyi yang menindih sepi. Lalu, makhluk dalam tubuhku tertawa. Suaranya menggema hingga menembus kulit tubuh, bergetar, berkedut merata-rata hingga ke ujung kuku. Kuputuskan membunuhnya, sudah cukup ia mengusikku.
Segenggam pil putih memenuhi rongga mulut. Tunggu saja, sebentar lagi makhluk itu akan tercekik. Mati lebih baik untuknya. Sesaat lagi, pertarungan ini selesai. Aku menanti sambil menahan perih di dada. Lubang hitam kini menganga sempurna. Menyedot sadarku yang perlahan goyah. Bimbang, aku justru berada di ujung jurang kekalahan.
Botol putih jatuh menghempas lantai bersamaan tubuhku yang lunglai. Bertaburan sisanya muntah ke udara lalu berdebam jatuh kembali bersama gravitasi bumi. Menampar wajahku, menyentuh sudut bibir yang kini punya warna yang sama. Putih, berbuih.
"Ra, apa yang kau lakukan! Telpon dokter sekarang!"
"Ibu..., ibu kenapa, paman? Ibu kenapa, nek? Ibu...!"
"Anak bodoh, sependek inikah langkahmu, Ra? Aga, cepat tolong Ara!"
Samar teriakan-teriakan memenuhi udara. Aku terserap masuk dalam lubang hitam di dada. Perih, ngilu kurasakan makhluk dalam tubuh mengoyak jantungku. Menembus batas yang kubuat. Menjelma aku yang baru. Inginku, berontak menyadari kekalahan yang membungkus. Meneriakkan sumpah serapah pada wajah yang kini berlimpah belas kasihan. Aku muak melihatnya. Muak.
*****
"Aku tahu, Ra. Kehilangan itu sangat menyakitkan, karena aku pernah berada diposisi itu. Kehilangan orang yang sangat kusayang. Ra, dengarkan aku. Setiap kita punya kesempatan, punya alasan untuk bisa lebih baik. Setiap kita punya waktu yang dengannya perlahan luka akan sembuh, kesedihan akan menguap, cepat ataupun lambat, hanya butuh menunggu dan bersabar. Ingat, Ra. Kamu punya itu semua, kesempatan dan waktu. Dengar, lihatlah anak-anakmu, mereka butuh kamu, butuh ibunya yang selalu bisa menyelesaikan banyak masalah. Seperti nama panggilanmu, Ra. Bersabarlah, bertahanlah untuk mereka, demi mereka, itu cukup."
"Paman, paman, ibu sudah sehat, kan?"
"Sedikit lagi, sayang. Ibu masih butuh waktu istirahat sekarang."
"Ra...!"
"Ya. Terimakasih, Ga. Terimakasih."
Makhluk itu manis sekali. Tubuh lemahnya bagai maghnet mengundang simpati berlebih. Melupakan duka yang membunuh. Mengubur kenangan yang berkarat. Sesaat membuatku bimbang, batasannya menipis, siapa aku dan siapa makhluk itu.
Bertahan? Dengar, aku tidak pernah mampu bertahan. Untuk mereka? Benarkah bisa? Aku tidak yakin, lubang hitam itu mengaduk semua resahku, kehilangan terlanjur menjadi darah daging, hingga udara yang kuhirup adalah sesak, detak pada jantung adalah lonceng yang dentumannya menghantam dada. Setiap detak menggurat retak. Lalu retak yang semakin akan melahirkan kesakitan yang membunuh.
Langit-langit kembali hamparkan wajah yang telah berpulang. Meninggalkanku, mematahkan kedua sayapku lantas menggantinya dengan jubah duka. Awan mendung berputar membentuk poros memuntahkan kenangan yang tak rela kubagi dengan makhluk yang menjadi aku. Aku tak mampu menjadi matahari bagi bunga-bungaku. Beri aku waktu, mungkin lebih lama, atau bunuh aku, maka selesai perkara.
Jarum jam dinding dalam ruang lelap mengarah ke barat daya. Beberapa hari yang lalu tetap sama, arahnya menuju ke sana. Aku lebih senang memandangnya demikian. Merasakan betapa lamban waktu berjalan bahkan tak ada kemajuan, sedang kemungkinan lainnya sudah jauh meninggalkan. Melesat menggapai tujuan, mimpi yang direnjanakan. Dan aku hanya ingin diam.
Renjana mimpi..uhuhuhu
BalasHapus