Langsung ke konten utama

Jingga Yang Perlahan Luruh



Purnama kesekian, aku menunggu. Lelah berdiri kemudian memilih duduk di pepasiran bibir pantai. Bosan nikmati senandung ombak, kaki kubujuk berjalan sembari menyapa asinnya air laut.

Percayalah! Hanya waktu yang akan selalu berbaik hati mengobati setiap kesedihan. Pesanmu, dulu.

Dan aku percaya.

****

Matahari merangkak perlahan, berbilang jam dengan detik bertumpuk-tumpuk. Memanjat langit dingin pagi, sedang aku baru akan mulai memejamkan mata. Tidur pada pagi yang masih terlalu pagi.

Matahari kemudian terkubur tanpa nisan, kembali berbilang hari. Aku cari kamu di setiap jejak senja, pukul tujuh belas lewat empat puluh lima. Tetap, masih belum kutemukan.

Lihatlah! Hanya ada jingga yang perlahan luruh.

Kesetiaan mengambil nafas-nafasku yang mulai mengeluh. Sunyi ini seketika terdengar merdu. Tak terasa, gelap kian jatuh sempurna, membuka gerbang malam. Kali ini pucuk-pucuk daun Tanjung menebar wangi bunganya yang baru mekar, menunggangi angin. Menyerang sudut hati. Aksinya merobek kembali jahitan kenangan yang sudah kututup rapat. Berdarah lagi.

Duhai, penggenggam jiwa. Aku menyerah.

Lelah mencarinya dalam setiap bayang matahari yang jatuh. Yang kutemui hanya kosong yang hampa. Lelah mencarinya di setiap jejak. Yang kudapat justru sebentuk pilu pada luka. Aku lelah, Tuhan.

Wahai, kamu dimana?

Mulai sekarang, tak mungkin kujahit lagi kenangan yang robek. Biarkan saja ia berdansa pada lantai jingga yang luruh, mengganti hari demi hari. Sunyi cukup merdu mengiring gemulai langkah masa lalu dan kini. Jangan tanyakan masa depan, aku tak pernah mampu merancang kehidupan. Baiknya kutunggu kabar dari bayang matahari. Memungut guguran bunga Tanjung, meroncenya menjadi mahkota. Lalu mengenangmu lagi, hingga sampailah di penghujung malam, antara terlelap dan sadar kunyanyikan beberapa senandung, lalu terkapar dalam siksa kehilangan.

Berikan tanganmu, genggam erat jemariku. Wahai, kamu dimana?

Tak lelah kuulurkan tangan, menengadah pada langit yang memerah. Bibir pantai mungkin bosan menopang kakiku, ombak mungkin jemu menyambut hadirku. Tapi jingga yang luruh masih menyimpan misteri menuju senja.

Percayalah! Hanya waktu yang akan selalu berbaik hati mengobati setiap kesedihan. Pesanmu, dulu.

Dan aku percaya.

Sebab camar selalu pulang, pagi selalu datang, matahari pasti pergi dan lalu kembali. Udara masih sedia memenuhi paru-paruku, walau sungguh aku enggan bernafas.

Temui aku di jingga yang luruh, katamu petang itu.

Seperti ibadah, kujalankan ritual mengantar matahari yang perlahan-lahan tumbang, menyaksikan jingga yang perlahan luruh. Menuju senja. Lalu pulang dengan hampa tanpa temukan kamu. Kembali lagi esok, berulang mengantar matahari menuju senja dan berulang lagi, begitu seterusnya.

Masih ditemani sunyi yang seketika menjadi merdu, bertahun-tahun kemudian, justru akulah yang akhirnya menuju senja. Matahari membagi cahayanya di rambutku, memutih bercampur kemerahan. Aku masih sangat percaya bahwa waktu akan selalu berbaik hati mengobati setiap kesedihan. Pesanmu, dulu.

Dan aku tetap masih percaya.

Purnama kesekian, aku menunggu. Lelah berdiri kemudian memilih duduk di pepasiran bibir pantai. Bosan nikmati senandung ombak, kaki kubujuk berjalan sembari menyapa asinnya air laut. Menyaksikan dari kejauhan siluet nelayan yang lincah mengayuh sampan.

Pada petang yang perlahan meluruhkan jingga, sederhana suaramu adalah penawarnya.

Wahai, darimana saja kamu?

Purnama kesekian, akhirnya kudengar suaramu, berbisik memanggil namaku.

Berikan tanganmu, genggam erat jemariku.

Suaramu hadirkan debar, menikam. Inikah saatnya?

Dan aku percaya. Kamu benar, pada jingga yang perlahan luruh, kita bertemu. Tak ada lagi gelap yang pekat, walau udara terasa hampa, tak ada bintang yang jatuh sebab mati, butiran pepasir perlahan terbang bersama angin menuju langit, bagai uap air. Remang malam menghilang di tandu cahaya matahari. Kita melayang, terbang ke perbatasan dunia, masuki sisi lainnya bersama-sama.

#ODOP

Komentar

  1. Eh, meninggal?

    Duh, aku selalu kesulitan memahami bahasa tingkat tinggimu kak na ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitu, ya? Hehehe.. 😀😀

      Hapus
  2. Bagus EUY mba Na untaian katanya. Puitis. Perlu belajar nih...hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mari,mba. Kita sama-sama belajar. 😉😄

      Hapus
  3. Keren, always like lah punya kak na. Uncle versi lembut ini ahahaha

    BalasHapus
  4. Daku meleleh hingga seleleh lelehnya

    BalasHapus
  5. Geleng-geleng.
    Gak bisa berkata-kata saya.
    "Gile lu Ndro!" kata Om Kasino.
    Kerennnnn!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.6)

-Topeng Ambisi- Seorang laki-laki tergesa-gesa memasuki ruangannya, setengah berlari Ia menghampiri meja kerja dan dengan kasar menarik satu persatu laci-laci yang tersusun rapi pada bagian bawah meja, kemudian mengobrak-abrik isinya. Ketika yang dicari belum ditemukan, Ia beralih pada lemari yang berada di belakangnya. Hal yang sama dilakukan, Ia pun mengacak habis isi lemari untuk mencari sesuatu yang amat berharga baginya.  "Dimana dokumen itu..kurang ajar!" Makinya pada seseorang yang ada dalam pikirannya. "Baiklah..jika ini pilihannya, akan kuturuti permainannya" Desisnya dengan rasa kesal yang tertahan. Ia tahu, wanita itu tak main-main dengan ancamannya tadi siang. Ambisinya yang terlalu besar dan menggebu-gebu secara otomatis memutuskan hubungan Simbiolis Mutualisme yang selama ini telah mereka jalin sejak setahun terakhir.  Jika bukan karena Mita yang dengan sembunyi-sembunyi memberitahukan padanya bahwa dokumen penting itu telah

Menggali Potensi Mulai dari yang Disukai dan Dikuasai

 Gali Potensi Ukir Prestasi  Resume ke-4 Gelombang 29 Senin, 26 Juni 2023 Narasumber: Aam Nurhasanah, S. Pd Moderator: Muthmainah, M. Pd KBMN 29-Pertemuan keempat dilaksanakan pada Senin, 26 Juni 2023, dengan tema 'Gali Potensi Ukir Prestasi'. Sebelum masuk ke materi, Ibu Muthmainah, M. Pd yang akrab dipanggil bu Emut dari lebak Banten, dan bertugas sebagai moderator memperkenalkan diri serta memaparkan sedikit info tentang narasumber.  Narasumber luar biasa dengan julukan penulis luar biasa dan juga pioneer pegiat literasi Kabupaten Lebak Banten, Ibu Aam Nurhasanah, S. Pd yang juga akrab disapa bu Aam, dikenang oleh bu Emut sebagai kompor, dalam arti yang menyemangati para penulis muda untuk menghasilkan karya tulis mereka menjadi buku. Bu Aam merupakan anggota KBMN gelombang 8 yang kemudian menyelesaikan pelajaran literasinya di gelombang 12.  "Dulu, kami menyebutnya BM 12 (Belajar Menulis 12) Juli 2020. Istilah KBMN muncul saat kopdar pertama di Gedung Guru Indonesia, J

Topeng (bag.3)

-Masa Lalu- Hera kecil sering kali di- bully oleh teman-temannya. Kala itu ia berusia 8 tahun, tubuhnya yang kecil dan lemah membuat ia menjadi sasaran empuk. Tidak ada satupun yang dapat membantunya, lebih tepatnya tidak ada yang mau. Sepulang dari bermain, sambutan kasar juga ia terima dari keluarga, tepatnya keluarga angkat. Hera diadopsi pada usia 2 tahun. Dengan niat sebagai pancingan agar kedua orang tua angkatnya bisa segera mendapat momongan. Tapi usaha ini belum menunjukkan hasil seperti yang diinginkan.  Saat Hera berusia 10 tahun Ibu angkatnya pun hamil. Kehamilan yang ditunggu-tunggu selama 9 tahun, sebelumnya beberapa kali Ibu angkat Hera ini sudah pernah hamil, sayangnya setiap kali hamil justru ibunya juga mengalami keguguran lagi dan lagi. Kehamilan ketiga kali ini dijaga ketat dan ekstra hati-hati, namun takdir berkata lain, saat ibu angkatnya mengandung pada usia kehamilan 8 bulan, kecelakaan tragis menyebabkan nyawa ibu dan calon adiknya itu melayang. Duka