ALIRAN MU'TAZILAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
Sebelum membahas lebih jauh tentang
aliran Mu’tazilah, ada baiknya kita mengingat ataupun mengetahui
terlebih dahulu bagaimana asal atau sebab adanya aliran tersebut.
Aliran Mu’tazilah merupakan
salah satu aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam. Ilmu kalam sendiri
biasa disebut dan dikenal dalam beberapa nama, antara lain:
1. Ilmu Ushuluddin, membahas
pokok-pokok agama
2. Ilmu Tauhid, membahas ke-esa-an
Allah SWT
3. Al-Fiqh Al Akbar, yaitu ilmu
fiqh yang didalamnya membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan istilah
keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid.
Perlu diketahui bahwa ilmu
fiqh, dalam persepsi Abu Hanifah (80-150 H) terbagi menjadi dua bagian, yaitu Al-Fiqh
Al Akbar dan Al-Fiqh Al Ashghar yang didalamnya membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah (bukan
pokok-pokok agama atau biasa disebut dengan cabang).
4. Teologi Islam, yang oleh Philip Bob Cock
Gove (1966:2371) dikenal sebagai penjelasan tentang keimanan, perbuatan dan
pengalaman agama secara rasional.
Setelah mengetahui beberapa nama yang biasa
dikenal dalam ilmu Kalam, maka dapat diketahui arti Kalam secara harfiah, yaitu
pembicaraan atau perkataan. Dalam pemikiran Islam, Kalam memiliki istilah
perkataan Allah dan Ilmu Kalam itu sendiri. Sehingga bisa disimpulkan, bahwa ilmu
Kalam ini membahas perdebatan teologi (ilmu tentang ketuhanan) ditengah umat
islam yang didasarkan atas argument-argumen yang berkaitan dengan kalam Ilahi
(AlQur’an sebagai firman Allah).
Lahirnya aliran Mu’tazilah sendiri,
merupakan hasil perdebatan dan konflik yang terjadi pada masa kekhalifah terakhir (keempat),
yaitu Ali bin Abi Thalib sejak awal pengangkatannya menggantikan posisi khalifah sebelumnya,
Utsman bin Affan yang wafat karena dibunuh.
Kemudian, aliran yang berhubungan dengan Mu’tazilah dan
aliran-aliran lainnya tumbuh serta berkembang hingga pada zaman Tabi’in,
bahkan beberapa aliran-aliran tersebut bertahan sampai saat ini.
1. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Munculnya aliran dalam teologi Islam
dipengaruhi oleh tiga faktor penting. Pertama, pengaruh
politik. Kedua, pengaruh paham asing (filsafat Yunani). Dan ketiga,
perbedaan dalam memahami Al-Qur’an.
Pada masa kekhalifahan Abu
Bakar Ash-Shiddiq (632-634 M), umat islam masih berada dalam kondisi politik
yang stabil. Adapun konflik yang terjadi, disebabkan oleh sekelompok umat
islam yang murtad, mengaku sebagai nabi palsu dan menolak untuk membayar zakat. Namun semua konflik itu dapat diatasi dengan baik oleh sang khalifah.
Setelah khalifah Abu Bakar
As-shiddiq wafat, kekhalifahan berikutnya digantikan oleh Umar bin
Khattab (634-644 M). Pada masanya, kemajuan umat Islam mengalami penaklukan
besar-besaran dibanyak tempat. Gelombang ekspansi (perluasan
daerah kekuasaan) wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Perkembangan dan
pelaksanaan pendidikan di masa khalifah Umar bin Khattab juga
lebih maju disebabkan kestabilan dan keamanan Negara selama kepemimpinannya.
Selanjutnya, setelah khalifah Umar
bin Khattab wafat, kekhalifahan berikutnya digantikan oleh
Utsman bin Affan (644-656 M). Dimasa kepemimpinan Utsman bin Affan inilah kemudian
mulai timbul fitnah-fitnah dan terganggunya stabilitas politik. Khalifah ketiga
ini dinilai melakukan praktek korupsi dengan menggunakan uang
Negara. Dan juga praktek nepotisme dengan banyak mengangkat
kerabatnya menjadi pejabat-pejabat pemerintahan dibeberapa wilayah.
Hal yang dituduhkan tersebut sebenarnya tidak terbukti, karena Utsman bin Affan sendiri sebelum menjadi khalifah adalah
seorang pengusaha terkaya di Arabia. Saat menjadi khalifah,
prestasi Utsman bin Affan dalam perkembangan dan kemenangan perluasan wilayah
Islam ketika menaklukkan Romawi, Armenia, Azarbayzan dan Asia kecil merupakan masa yang sangat
gemilang. Beliau juga turut berjasa dalam pembukuan Al-Qur’an, melanjutkan
pekerjaan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang sebelumnya telah
mengusahakan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang tersebar lewat catatan dan
hafalan para sahabat dimasa Rasulullah SAW masih hidup, atas usul Umar bin
Khattab. Tetapi fitnah sudah terlanjur menghasut beberapa kalangan masyarakat. Kemelut
di kalangan umat Islam akhirnya mulai tampak setelah terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan.
Dimasa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
(599-661 M), perselisihan umat Islam semakin menjadi-jadi. Ada kelompok yang
menyebarkan isu bahwa Khalifah-khalifah sebelumnya mengambil
hak Ali sebagai orang yang paling tepat untuk menggantikan Nabi Muhammad SAW.
Selain itu permasalahan lain juga terjadi ketika khalifah Ali bin
Abi Thalib tidak dapat menyelesaikan dan menghukum pembunuh khalifah Utsman
bin Affan. Perselisihan umat Islam tersebut berlanjut dan mencapai awal
puncaknya pada perang Jamal, dimana perang ini untuk pertama kalinya menjadi perang saudara
antara umat muslim. Melibatkan Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah
(tokoh-tokoh yang juga ingin menjadi khalifah) dan mendapat
dukungan dari Ummul Mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda
Rasulullah SAW.
Dengan konflik yang terjadi, sebagian umat
Islam mulai membuat analisis tentang pembunuhan khalifah Utsman
bin Affan. Analisis itu sendiri terkait pada pelaku pembunuhan, apakah pembunuhnya berdosa atau tidak. Hal inilah yang kemudian
menjadi cikal bakal lahirnya aliran-aliran seperti Qadariyah (aliran yang hampir sama pemikirannya dengan Mu’tazilah) dan Jabariyah.
Setelah berhasil memenangkan perang Jamal,
Khalifah Ali bin Abi Thalib kemudian dihadapkan pada tantangan lebih besar
lagi, yaitu perang Shiffin (37 H). Perang ini melibatkan Muawiyah bin Abi
Sofyan yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur di Damaskus. Adapun
penyebab perang ini terjadi karena; pertama, Mu’awiyah menuntut Ali bin Abi Thalib agar segera menghukum pembunuh Utsman bin Affan. Dan kedua, Mu’awiyah juga tidak mengakui Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah.
Perang Shiffin berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase)
yaitu peristiwa sejarah yang diadakan untuk menyelesaikan perseteruan politik
antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Dengan mengutus Musa
Al-Asy’ari dari pihak khalifah Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Al-Ash dari pihak Mu’awiyah bin Abu Abi Sofyan. Keputusan
akhir dalam delegasi pertemuan yang dinilai curang itu (sebab kelicikan Amr bin
Al-Ash mengalahkan perasaan takwa dan wara’ dari Musa Al-Asy’ari) mengakibatkan
terpecahnya kelompok pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib sehingga terbagi menjadi dua bagian.
Satu kelompok mendukung sikap Ali yang kemudian disebut Syi’ah dan kelompok
lainnya menolak sikap Ali yang kemudian dikenal sebagai Khawarij.
Perpecahan dari kelompok yang mendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib ini kemudian memunculkan persoalan siapa yang kafir atau keluar dari Islam, dan siapa yang bukan kafir atau yang masih tetap berada dalam Islam. Persoalan ini kemudian melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam seperti; Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Syi’ah dan Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah, yang dikenal pula sebagai Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Perpecahan dari kelompok yang mendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib ini kemudian memunculkan persoalan siapa yang kafir atau keluar dari Islam, dan siapa yang bukan kafir atau yang masih tetap berada dalam Islam. Persoalan ini kemudian melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam seperti; Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Syi’ah dan Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah, yang dikenal pula sebagai Asy’ariyah dan Maturidiyah.
www.ernawatililys.com
bersambung...
weehh,, serasa belajar di pondok,, hhe,, terima kasih mba ilmunya..
BalasHapusMakasih bang Aim. Justru saya mau banyak nanya sama kang abik junior ini. Heheh
BalasHapusMakasih bang Aim. Justru saya mau banyak nanya sama kang abik junior ini. Heheh
BalasHapusMaksih ilmunya, Mba Na
BalasHapusMakasih jg bang aim.
HapusSaya baru mudeng. Yg diatas bang jundi. Nah ini bang aim.
Keliru saya. Hehe