Koran Minggu - Suara Pemred Kalbar |
Garis-garis itu bisa bicara. Mereka
juga dapat memperkenalkan diri. Darinya wanita tua itu mengenal semua bentuk.
Yang berpilin, yang lurus, yang putus-putus, yang bersegi, yang bergelombang,
yang tebal, yang tipis dan beragam jenis garis-garis lainnya. Bagaimana dia
bisa mengenalnya? Tentu saja itu mungkin terjadi dan bukan mustahil. Lalu,
kemampuan seperti apa yang dimiliki wanita tua itu?
Usianya hampir menyentuh jatah yang
sudah tentu diketahui banyak orang. Tinggal menunggu, akankah ada penambahan
waktu sebagai bonus dari yang Maha Kuasa. Dalam arti lain, ada kesempatan untuk
menghirup udara di dunia ini lebih lama. Atau mungkin, malah terjadi
pengurangan waktu, lebih dekat, bahkan lebih cepat. Siapa yang bisa menduga?
Sebab, yang masih jadi misteri terbesar hingga saat ini adalah kematian.
Cukup lama aku mematung. Duduk di
kursi kayu sembari memerhatikan tangan tua itu sesekali bergetar di atas kain
sewarna langit yang menyelimuti setengah tubuhnya.
Sesekali tubuhnya pun berguncang
akibat batuk. Terdengar kering dan payah. Anehnya setiap kali suara batuk itu
terbang di udara dan memenuhi rongga telinga, dadaku justru merasa sakit.
Bukan…! bukan sakit dalam arti sebenarnya, bisa jadi dan mungkin saja sakit ini
adalah sebagai rasa simpati atau bentuk kasihan yang lahir dari hatiku.
Kasihan dia…, sungguh. Aku tenggelam
dalam lautan rasa kasihan yang dalam, hingga tanpa terasa percikan air asin
dari sudut mataku kini mencecap lidah.
Dalam usia yang serupa senja, dengan
matahari yang kian pucat. Ia tidak lagi mampu melihat warna-warni dunia. Mata
yang mengandung hampa itu begitu kelam dan sunyi. Kini kuperhatikan lagi dia
lebih dekat. Lebih dekat dan, dekat. Wajah tua itu menyimpan banyak kesedihan.
Seorang wanita muda datang
melaksanakan pemeriksaan rutin. Aku mengambil jarak tidak terlalu jauh dari
ranjang. Tubuh tua yang tak berdaya di atas ranjang itu tampak gelisah.
Terbaring dalam waktu yang lama tentu tidak nyaman, bisa membuat kulit punggung
jadi lecet dan tampak mengerikan.
Kuhampiri wanita muda itu, tangannya
tampak sibuk mengangkat satu sisi tubuh wanita tua, mengubah posisi tidurnya
agar udara mampu menjamah kulit punggung dan sekitarnya. Kutawarkan sebuah
solusi terbaik untuk menangani pasien tuanya yang tak kunjung sembuh. Solusi
itu akan membawa kebaikan baginya, juga bagi wanita tua yang sedang ditangani.
Bukankah sudah terlalu lama wanita itu terbaring bagai mayat hidup? Bukankah
sudah banyak hal dilakukan untuk membantu kesembuhannya? Dan, bukankah itu
semua melelahkan?
Sayang, wanita muda itu menolak,
meski mampu melakukan yang kusarankan, dia menolak dan memilih takdir untuk
mengikis habis waktu dan kesempatan hidup bagi pasiennya.
Kembali kudekati wanita tua dan
membisikkan betapa tega orang-orang berpakaian putih-putih itu
memperlakukannya. Bukankah kematian lebih baik daripada harus berteman dengan
segala peralatan pendukung kesembuhan yang tidak pasti ini? Kupalingkan wajah
membelakanginya, berusaha menghindari jawaban dan nafas tuanya yang payah.
Garis-garis itu kembali bicara.
Mereka juga dapat memperkenalkan diri. Darinya wanita tua itu mengenal semua
bentuk. Yang berpilin, yang lurus, yang putus-putus, yang bersegi, yang
bergelombang, yang tebal, yang tipis dan beragam jenis garis-garis lainnya.
Entah bagaimana wanita itu mengenal bentuknya. Itu mungkin saja terjadi. Lalu,
kemampuan seperti apa yang dimiliki wanita tua itu?
Ya, tentu itu tidak sulit
dipelajari. Setiap hari selalu ada garis-garis hidup yang terhubung dengannya
dan atau, dengan orang-orang di sekelilingnya yang berbaring lemah tak berdaya.
Setiap hari selalu ada kain-kain sewarna langit terhampar menyelimuti, dengan
tangan-tangan yang tidak banyak bergerak. Kebanyakan dari mereka hening dalam
koma, bahkan berakhir dengan tidak bernyawa.
Kali ini garis-garis pada peralatan
di samping wanita tua itu membentuk lurus dan putus-putus, turun, naik, ketika
tak mampu sampai di puncak, garis itupun lalu menghilang, tapi kemudian
ketebalannya kembali lagi, menggaris lebih lamban dan pelan.
Kutatap mata hampanya yang makin
kelam. Menawarkan lagi penghapus segala penderitaan atas sakit yang dia alami.
Dia hanya perlu menyerah. Maka akan kulepaskan satu persatu selang-selang dan
tali-temali yang terhubung ke tubuhnya. Alat-alat dan mesin-mesin itu
sebenarnya hanya membuat waktu berjalan semakin lambat dan payah. Sedangkan
rasa kasihanku kian buncah.
Ratusan detik telah pergi.
Bulir-bulir keringatnya tumbuh seakan dapat sesegera mungkin dipanen. Aku mulai
menangkap harap meski matanya tidak tertuju padaku. Wanita tua itu kepayahan
dengan seluruh beban sedih dan sakitnya. Hampir tidak mampu lagi dipikul,
terlalu sedih, terlalu sakit.
Aneh, melihatnya demikian hatiku
buncah akan bahagia. Akhirnya dia memutuskan untuk menyerah, bukankah sudah
kukatakan? Biarlah kubantu dia lepas dari kesulitan ini. Tapi lihat, sejak awal
dia masih merasa kuat meski lemah, merasa mampu padahal papa.
Baiklah. Kali ini akan kubantu dia
melewati semuanya. Kesedihan, kesakitan, hampa yang menikam dan sepi yang
mencekam. Sanak saudara bahkan anak-anaknya sudah tidak lagi peduli, mungkin
mereka menyerah dan lelah. Tenanglah wanita tua, sebentar lagi tidak akan ada
lagi garis-garis yang bicara. Yang darinya kau mengenal semua bentuk. Yang
berpilin, yang lurus, yang putus-putus, yang bersegi, yang bergelombang, yang
tebal, yang tipis dan beragam jenis garis-garis lainnya. Tidak akan ada lagi,
tidak akan terdengar lagi. Keputusanmu sudah tepat, menyerah dan segera
mengakhiri penderitaan dari berbagai penyakit itu lebih baik.
Sesaat lagi seorang pemuda yang
bertugas membersihkan ruangan kamar akan datang. Akan kubuat dia tergesa-gesa
menyelesaikan tugas, dengan demikian akan banyak kesalahan. Seperti menginjak
atau tanpa sengaja menghentikan alat yang sedari tadi menutup mulut dan hidung-mengalirkan
udara dengan bunyi desis yang berisik-pada wanita tua.
Tapi, sebelum itu tunai, bahkan
belum sempat rencanaku berjalan, mengapa tangan wanita tua itu kini berhenti
bergerak? Bersamaan menutupnya kelopak mata dengan keriput pada wajah yang juga
perlahan luruh. Purna. Lalu sejurus kemudian, ada bunyi lengkingan panjang pada
alat-alat di samping ranjang.
Menyaksikan itu, wajahku yang semula
merah semakin membara. Seakan-akan jika sesuatu menyentuhku, niscaya ia akan
ikut terbakar hingga tak akan ada tumpukan abu yang tersisa. Aku mengumpat
sejadi-jadinya, sesalku lahirkan lolongan panjang yang menggeram di
lorong-lorong waktu, liriknya terdengar pedih akan hilanganya kesempatan
mendapatkan teman. Teman yang nantinya menemaniku di tempat akhir yang
dijanjikan abadi.
Komentar
Posting Komentar