Koran Minggu - Pontianak Post |
Angin barat berlari kencang membawa
titik-titik air, menampar wajah tuaku di balik topi jerami. Basah dan perih. Pemberianmu
ini sungguh luar biasa, Tuhan. Terlalu banyak dan berlimpah. Sampai-sampai
cawan tanah liatku yang retak, kini semakin jelas membuat alur-alur
kenestapaannya. Kuakui kebesaranmu ini menjadi harapan kami, tapi itu nanti,
saat angin yang berlari kencang ke barat ini kembali berbalik arah di masa yang
akan datang, saat di mana tanah tempatku duduk dipanggang teriknya surya dan
daun-daun layu di pohon yang menggeletar tak sabar ingin segera menyentuh
asalnya.
Dingin kini menggigit kulit, leluasa
menembus kain lusuh milikku yang tersisa. Aku masih terpaku menyimak nyanyian
hujan yang sepanjang hari mengalun, hampir tiada usai menguras nafas-nafasku.
Lapar, sepertinya obat penghilang rasa itu menjadi cita-cita paling tinggi yang
kukaitkan di kaki singgasana Tuhan hari ini. Hanya hari ini saja, aku ingin
menghilangkan rasa sakit di perut. Karena
besok kisahnya akan berbeda. Aku berharap tidak pernah lagi merasakan lapar
setelah hari ini. Semoga.
Genangan air dalam sekejap meninggi sebab
hujan semakin deras, serta merta arusnya membawa pergi alas duduk dan cawan
tanah liatku yang nestapa, satu-satunya milikku yang berharga. Wadah yang
kusiapkan sebagai tempat untuk orang-orang melemparkan uang koin tak berharga milik
mereka yang hanya memenuhi isi dompet dan berisik. Berisik, karena bunyinya
membuat resah hingga ingin segera disingkirkan, itulah kenapa koin-koin tidak
selalu diingat berapa jumlahnya, dan biasanya hanya dicari jika bertemu dengan manusia-manusia
sepertiku atau yang sejenis denganku.
Di kejauhan kulihat sebuah perahu kecil mengarungi jalanan yang banjir, bukankah biasanya di saat-saat seperti ini akan ada banyak bantuan yang diberikan? Mungkin itu orang-orang dermawan yang akan membagikan makanan, barangkali nasi bungkus atau minuman hangat, atau bisa jadi hanya makanan ringan sekedar pengganjal lapar, karena biasanya dalam kondisi ini manusia akan sering merasa lapar. Kira-kira ada berapa banyak yang dibawa? Perutku kembali merespon kebutuhannya. Ah..., tidak! aku takut terlalu banyak berharap. Bisa jadi perahu itu akan berbelok ke jalan lain, di sana ada pemukiman, pasti banyak penghuni yang terjebak di dalam rumah dan tidak bisa berbuat apa-apa, sedangkan di sekitarku hanya ada deretan toko, kios dan warung atau kedai kecil yang tutup. Atau, apakah mungkin orang-orang di perahu itu akan membawa penghuni di pemukiman sana pindah ke tempat yang lebih aman, pengungsian misalnya? Jika dilihat dan diamati lagi cuaca kali ini, kemungkinan banjir akan semakin tinggi. Apa aku harus ke sana dan meminta pertolongan? Sungguh, tubuh tuaku kini seperti mati rasa karena menahan dingin.
Mataku masih lekat menatap perahu kecil.
Milik siapa? Rasa penasaranku lahir demi melihat perahu kecil itu bergerak
dibawa arus ke arah hilir. Biasanya perahu serupa akan banyak ditemukan di
perkampungan yang dekat atau memang berada di pinggir sungai. Aku sudah belasan
tahun mengemis di daerah ini dan jelas tidak ada yang memiliki perahu seperti
itu di sini, ini daerah perkotaan.
Saat perahu kecil itu tepat berada di
hadapanku, perahu itu berhenti. Aku tidak sempat berpikir bagaimana bisa perahu
itu tetap pada tempatnya. Apakah ada orang lain yang menahan perahu itu, atau
adakah tali dan sejenisnya yang membuat perahu itu bisa tetap diam dan tidak
terbawa arus air. Sejak perahu itu melintasi persimpangan jalan di depan sana,
harapan kembali muncul, sudah jelas perahu itu akan menuju ke arahku. Apa yang
akan diberikannya? Ah ..., apapun itu akan kuterima, bahagia seketika
membuncah. Lantas seseorang keluar dan menghampiri. Dalam pelukannya ada bayi yang
meringkuk, tampak kedinginan.
“Pak, adakah yang bisa bapak berikan
untuknya?” tanya orang itu meminta sesuatu dariku.
“Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa
yang dikatakannya.
“Adakah, Pak?” tanyanya lagi sambil
kembali melihat sosok kecil dalam pelukannya.
Aku bingung memikirkannya, bukankah
seharusnya dia yang memberiku bantuan? Aku tadi berharap akan ada sesuatu yang
bisa meredakan rasa sakit di perut atau sesuatu yang dapat menghangatkan kulit
yang kian keriput dikulum dingin. Tapi melihat sosok lemah dan kecil dalam
pelukannya, aku serta merta hanyut dalam belas kasihan. Kuserahkan begitu saja kain
lusuh yang selama ini setia menemani di kala teriknya surya membakar kulit atau
saat tajamnya dingin menusuk tulang.
Dia tersenyum lalu kembali masuk dalam
perahu kecil dengan kain lusuhku yang disampirkan di pundak dan menutupi bayi
kecil dalam pelukannya. Kemudian perahu itu berlalu dalam rintik hujan yang lembut
menyulam kemuraman air yang perlahan meninggi, meski demikian, arusnya kini
lebih tenang dan tetap tenang hingga wujud perahu itu benar-benar menjauh kemudian
hilang dari jangkauan mata tuaku.
“Tuhan, aku benar-benar tidak akan lagi
berharap selain padamu saja!” gumamku pelan melepas harapan keliru yang tadi sempat
tumbuh.
Mendung masih enggan pergi meski rintik
hujan sudah berhenti. Siang tidak lagi dapat dikenal, seakan-akan waktu begitu
saja melompat ke senja. Sakit di perutku telah takluk dengan kantuk dan lelah
seharian melawan dingin. Akankah hidup menggelandang dan mengemis belas kasihan
ini juga takluk dalam banjir yang entah kapan surut? Kasihan! Aku mengasihani
diriku sambil mengenang kisah-kisah tua yang usang, cinta yang kandas dan hidup
yang kerap bersanding halang rintang.
Langit malam merangkak kian suram,
sesekali suara jeritnya menggelegar bersamaan kelap-kelip kilat yang menyambar.
Tampaknya sebentar lagi hujan kembali turun. Kutatap langit-langit kedai kopi beratap
rumbia yang sudah beberapa hari tidak pernah lagi dibuka. Beberapa hari itu pula
aku menumpang tidur di meja panjangnya, namun kali ini dengan genangan air yang
tidak seberapa jauh tingginya dari meja tempat kurebahkan tubuh rentaku.
Wajah bayi dalam pelukan orang di perahu
kecil tadi kembali terbayang. Apa kabar bayi itu, selamatkah dia dalam
dinginnya hujan dan banjir yang mengepung? Ada rasa sedih yang memenuhi dada
ketika mengingatnya melintasi banjir dengan perahu kecil siang tadi. Samar
namun perlahan terlihat nyata. Aneh, apa karena lapar membuatku berhalusinasi?
Wajah bayi itu seakan tersenyum, kemudian tangannya menjulur padaku. Kusambut
dan kugenggam tangan mungil itu meski yakin hanya sebuah bayangan. Rasanya hangat.
Kusimak nyanyian hujan yang sepanjang
hari mengalun, kini telah usai menguras nafas-nafasku. Lapar, obat penghilang
rasa itu tidak lagi menjadi cita-cita paling tinggi yang kukaitkan di kaki singgasana
Tuhan. Setelah hari ini, kisahnya jadi berbeda. Aku tidak perlu lagi menyiapkan
alas duduk dan mencari pengganti cawan tanah liatku yang alur-alur retaknya
kian memperjelas kenestapaan pemiliknya. Atau, aku tidak perlu lagi mengusap
untuk sekedar merapikan dan membersihkan topi jerami yang usangnya nyaris sama
dengan kulitku, sebab aku sudah berlayar bersama bayi dalam perahu kecil, tanpa
rasa dingin dan lapar, meninggalkan tubuh renta di atas meja panjang kedai kopi
beratap rumbia.
Dimuat di koran Pontianak Post, edisi; Minggu, 25 April 2021
Komentar
Posting Komentar