Langsung ke konten utama

Gambar-gambar di Balik Kasau

 

Koran Minggu - Pontianak Post

Aku akan bercerita, kalau aku sebenarnya senang berdiam diri sambil memperhatikan sesuatu yang awalnya terlihat abstrak kemudian lambat-laun menjadi sesuatu yang nyata- tampak seperti sebuah cerita- semisal cerita bergambar.

            Dengan tinggi tubuh setengah orang dewasa- sebatas pinggang atau kurang dari itu. Aku selalu asyik mengamati bagian bawah kayu kasau yang tidak sepenuhnya dilapisi cat. Di rumahku atau di beberapa rumah lainnya, kasau tidak diposisikan rata dengan dinding. Sengaja dibiarkan menonjol untuk nantinya berfungsi menyimpan barang-barang kecil. Saudaraku yang lebih tua justru menyimpan dan menyusun uang koin sisa membeli rokok di atasnya, kadang-kadang aku mengambil satu atau lebih uang receh seribuan atau limaratusan untuk membeli cemilan. Fungsi lainnya- pikirku- adalah untuk memperindah. Kasau akan diberi warna berbeda dari dinding. Terkadang warna kasau yang melintang di tengah dinding itu tidak merata. Contohnya di rumahku. Bagian atas dan depan kasau berwarna biru laut. Sedangkan bagian bawahnya dibiarkan bercampur dengan warna pada dinding yang dipoles dengan putih. Sentuhan kuas yang menyentuh bagian bawah kasau tampak seperti bercak-bercak, tidak beraturan, berantakan.

            “Kenapa bagian bawah kasau tidak disamakan warnanya?” tanyaku pada ayah.

“Bagian bawah tidak akan diperhatikan orang.” Ayah menjawab dengan santai. Maksud ayah di sini adalah, orang-orang dengan tinggi melebihi kayu kasau yang melintang. Artinya, bagian bawah kasau itu tidak akan dilihat oleh orang-orang dewasa.

            “Lalu, bagaimana dengan aku?” Protesku kemudian. “Aku kan bisa melihatnya,” senyum ayah mengembang sembari tangannya mengacak-acak rambutku yang sudah rapi disisir ibu.

“Anak kecil gak akan tertarik dengan warna cat yang tidak merata di bagian bawah kasau,” demikian jawaban ayah.

            Aku sebenarnya ingin bicara lagi, bahwa itu tidak berlaku untukku. Buktinya, aku selalu memperhatikan. Warna-warna semacam bercak itu lama-lama menjadi gambar meskipun abstrak, dan jika aku bisa bersabar lebih lama memperhatikan bercak-bercak cat yang dihasilkan oleh polesan kuas yang mentok pada kayu kasau- yang melintang- di dinding itu, maka akan terbentuk sebuah cerita.

            Ada banyak cerita yang tersaji di bagian bawah kayu kasau. Tidak saja di rumahku. Rumah lainnya juga demikian- kuamati saat bermain ke rumah tetangga. Kadang kala bercak-bercak cat yang tidak sewarna itu tidak saja murni dari polesan kuas cat yang membentur kasau. Ada juga bercak-bercak warna lain semisal darah seekor nyamuk- aku tahu sebab terdapat tubuh nyamuk yang digencet hingga tidak jelas lagi bentuknya. Atau, bekas minyak dari jari-jari yang sengaja menempelkannya di bagian bawah kayu kasau- mungkin pemilik jari-jari itu tidak menemukan tisu ataupun kain lap untuk membersihkan tangannya setelah makan satu dua gorengan. Tiba-tiba aku jadi ingin makan gorengan.

            Kisah atau cerita yang memenuhi otakku setelah menyaksikan rangkaian bercak-bercak itu mengalir begitu saja. Sayangnya aku belum bisa menulis kala itu. Dan aku juga tidak punya keberanian bercerita pada yang lain- orangtua, saudara, ataupun teman-teman sebaya- karena khawatir dianggap aneh. Selain itu, aku juga tidak mampu meyakinkan seseorang untuk menikmati ceritaku. Tidak akan ada yang tertarik memandang dan memperhatikan bercak-bercak abstrak di bagian bawah kayu kasau. Tidak ada. Pastinya begitu.

            Kemampuan memperhatikan sesuatu dengan sabar ini kemudian berkembang. Aku bisa merangkai cerita ketika melihat tumpukan daun-daun yang merenggas, terkapar di atas tanah, bertumpuk dengan daun lain yang senasib. Atau, aku senang memperhatikan perkembangan bunga-bunga pada pohon di halaman rumah. Bakal buah jambu yang menggoda mata kala merahnya nanti merangsang lidah bekerja menghasilkan liur lebih banyak dari biasanya. Mulutku basah. Kurasakan sudut bibirku berair. Dan, tiba-tiba aku ingin makan asinan atau sejenisnya.

            “Kau penghayal handal,” kata saudara tuaku yang susunan uang recehnya masih kuambil sekedar membeli sebungkus kacang kulit atau kacang kedelai. Ini cemilan sehat.

            “Kau pengamat yang baik,” kata ibu suatu waktu sembari membelai kepalaku.

            Apa ini bakat? Tanyaku pada suatu waktu ketika mengenal lebih dalam kata bakat dari mulut salah satu guru. Apakah kegemaranku memerhatikan, mengamati, lantas merangkai cerita-untukku sendiri- adalah sebuah bakat?

            Jika demikian, berlakulah kata-kata Erica Jong. “Setiap orang memiliki bakat. Namun jarang bakat itu disertai keberanian untuk mengeksplorasi bakat tersebut semaksimal mungkin.” Aku membaca kalimat ini di bagian belakang sebuah buku.

            Kenyataannya, aku tidak memiliki keberanian, dan segala keterbatasan keluarga membuat keadaan semakin runyam.

            Ketika usiaku genap tujuh tahun. Tuhan memberiku hadiah air mata yang menurutku menjadi catatan mengalir terlama sepanjang sejarah. Ayah yang setiap sore pergi melaut suatu waktu tidak pernah kembali lagi saat matahari sudah memperlihatkan diri. Jika dalam sehari ayah tidak pulang, menurutku itu biasa karena ayah akan pulang keesokan harinya dengan sekeranjang ikan atau setumpuk uang hasil penjualan ikan. Tapi jika wujudnya tidak tampak lebih dari tiga hari, itu menjadi aneh, menakutkan, membingungkan, dan mencemaskan, sehingga membuat ibu seperti orang gila. Dan aku menjadi korbannya.

Tidak, ayah tidak tenggelam atau mati dimakan ikan pemangsa, tidak juga ditinggalkan rekannya di pulau yang jaraknya dua hari perjalanan. Ayah sudah memutuskan jalan hidupnya. Ini kuketahui setelah banyak hari berlalu, sejak air mataku memiliki catatan mengalir terlama sepanjang sejarah. Dan aku menyesalinya, sebab ayah bukan saja menjadi ayahku seorang, Tapi ayah telah menjadi ayah mereka sejak saat itu. Membuat ibu gila dan aku menjadi korbannya.

Pada kayu-kayu kasau yang menghadirkan cerita, kusadari salah satu kisah ayah tergambar disana. Sayangnya aku terlambat menyadari, sebab keterbatasanku sebagai anak kecil hanya murni memiliki imajinasi, asik dengan diri sendiri, dan mencari kesenangan dari keterbatasan yang ada. Tidak lebih dari itu. Pada bercak-bercak cat yang kuamati, tergambar sosok laki-laki yang pergi menuju sebuah rumah di seberang pulau dengan kapalnya, meninggalkan rumah kecil yang terbakar dengan mayat-mayat bergelimpangan di sekelilingnya. Aku pikir, mayat-mayat bergelimpangan itu adalah kami- orang-orang yang ditinggalkan ayah dengan kehidupan yang berantakan.

Awalnya aku tidak percaya pada imajinasi yang mengalir di kepala begitu saja, membuat cerita suram yang tidak kusuka. Sekali lagi kuamati ujung kasau, perlahan merayap mengikuti bercak-bercak cat hingga sampai pada ujung lainnya, membaca cerita. Bagaimanapun usahaku untuk mengalihkan cerita suram itu menjadi cerita lain yang lebih menyenangkan, tetap tidak bisa merubah cerita sebelumnya, tetap saja sedih dan suram. Seperti kehidupanku setelah ditinggal ayah. Ibu menjadi gila dan aku korbannya, hanya aku, sebab saudara tuaku sudah punya kehidupan sendiri. Menikah dengan gadis remaja kampung sebelah. Istrinya melahirkan dua bulan kemudian. Dan aku heran karena tetanggaku-juga ayah dan ibu- sepertinya tidak suka dengan kelahiran anak saudara tuaku. Mungkin karena terlalu cepat, pikirku. Sebab, ibu pemilik warung sembako yang tinggal tidak jauh dari rumahku, berbulan-bulan lamanya belum juga melahirkan. Padahal perutnya sudah membesar. Dalam hal ini aku bingung. Cepat atau lamanya waktu melahirkan ternyata memengaruhi kebahagiaan orang lain. Tiba-tiba aku tidak ingin melahirkan dalam waktu cepat ataupun lama, karena yang kutahu, melahirkan itu sakit, begitu kata ibu dari temanku ketika aku berkunjung ke rumahnya dan melemparkan pertanyaan konyol, “Melahirkan itu enak ya, bu?”  tanyaku saat itu yang langsung disambut dengan ringisan kesakitan, sebab ibu dari temanku itu salah menggeser posisi duduk.

Sejak ditinggalkan ayah, hidup ibu benar-benar berantakan. Kata orang-orang di kampung, ayah diguna-guna oleh perempuan di seberang pulau itu. Dan guna-guna itu juga yang membuat ibu menjadi gila. Tinggal aku yang masih terlalu kecil harus merawat ibu, sebab saudara tua tidak mau tinggal di rumah ini, sebab istrinya takut dengan ibu, takut jika nanti melukai anaknya yang saat itu masih berusia lima bulan. 

Seperti api yang mampu melahap apapun di sekitarnya, kemalangan ini tidak berhenti. Anak dari saudara tua yang mulai pandai berjalan, mati tenggelam dalam kolam dekat rumahnya. Sejak kejadian itu, istri saudara tua mulai sakit-sakitan. Lagi-lagi, orang-orang di kampung bilang bahwa ini termasuk guna-guna yang di lakukan perempuan di seberang pulau yang telah mengambil ayah dari keluarga kami, mungkin perempuan itu hendak menghancurkan kehidupan kami. Aku tidak mengerti tentang guna-guna, tapi yang kupahami adalah cerita pada bercak-bercak cat yang mentok di bagian bawah kayu kasau rumah tempat saudara tuaku tinggal, bercak-bercak cat itu mengisahkan apa adanya. Anak kecil yang tenggelam, perempuan kurus dengan selimut, dan laki-laki yang sendirian di tengah laut. Aku seperti biasa tidak pernah menceritakan apa yang kubaca pada orang lain, karena mereka tidak akan percaya dan justru mungkin akan berbalik mengataiku gila, sama gilanya dengan ibuku. Tiga bulan kemudian, saudara tuaku mati tenggelam saat melaut.

Lihat! Tepat setahun yang lalu usiaku tujuh tahun, tidak lagi punya ayah. Meskipun masih hidup, ayah sudah kuanggap mati. Di usia delapan tahun aku tidak punya lagi saudara tua. Hanya ada ibu yang menggila dan aku sebagai korbannya. Lalu, apakah kemampuan ini masih bisa disebut bakat? anugerah? atau justru petaka? Itulah ceritaku.


Dimuat di Koran Pontianak Post, edisi; Minggu, 21 Maret 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah