Tertinggal. Rombongan lebih dulu pergi. Mengejar Mentari pagi muncul sapa bumi. Puncak bukit Tanjung janji manjakan mata. Disulap dalam aquarium laut yang melangit, bersatu tanpa batas. Biru. Masih dua puluh lima menit lagi, jalan menanjak memaksa pijakan kaki lebih erat mencengkeram batu bercampur tanah licin, sisa hujan semalam ciptakan semaraknya. Dedaunan menyimpan bulir-bulir embun. Basah. Pada semak kuharapkan kekuatan bertahan. Berpegang. Udara bukit sejuk bertabur nafas kehidupan pepohonan rindang. Tapi tidak untukku yang gerah bermandikan keringat pembakaran. Gesekan daun cipta simfoni alami, Indah. Namun deru darahku menabuh jantung berdetak lebih. Lelah. Astaga! Pada bulir embun kupandang bagai titik-titik air di dinding gelas. Bongkahan es berdenting riang memanggil dahaga, bertepuk sesamanya, meremas otak, hingga memompa kaki menapak cepat kalahkan beban tubuh. Jatuh. Rangkong Gading berteriak gaduh, terganggu lantas melintas diatas tubuh kaku, pagutnya mengingat