Langsung ke konten utama

Di Keningku Mereka Tuliskan Satu Kata

Merdeka.com


Aku yakin itu hanya mimpi. Tapi mereka bilang aku mengada-ada.

Aku yakin itu nyata. Tapi mereka bilang aku berkhayal saja.

Aku yakin baik-baik saja. Tapi mereka khawatir sejadi-jadinya.

Aku yakin tidak melakukan apa-apa. Tapi mereka bilang aku adalah ancaman yang berbahaya.

Di keningku, mereka tuliskan satu kata. Gila!!

***

"Bagaimana kejadiannya?" tanya pria berseragam putih di hadapanku.

Aku terdiam beberapa detik, menutup mata, memanggil ingatan yang masih saja pudar. Setelah mampu mengingat bagaimana awal dari kejadian itu, mengalirlah kata-kata membentuk kalimat, menjadi cerita.

Pagi beranjak siang atau siang beranjak sore, samar-samar waktu kuingat. Bahkan bisa jadi saat itu subuh menjelang pagi. Entahlah, aku masih belum yakin. Seorang anak tiba-tiba saja masuk dari jalan samping menuju ruang makan. Dia berdiri di ambang pintu. Mengenakan baju kaos berwarna hijau tua, sedikit kebesaran, sebab ujungnya hampir menyentuh setengah paha. Berpadu dengan celana pendek longgar di bawah lutut, warna biru laut. Wajahnya bulat dan berisi. Tubuhnya pun demikian, tidak tampak begitu gemuk tapi tidak juga terlihat kurus. Warna rambut yang dimiliki senada dengan mata, hitam pekat. Kontras berpadu dengan kulit yang kuning langsat. Tampak segar dan sehat.

Saat itu pekerjaan di dapur sudah selesai. Kulangkahkan kaki keluar dari dapur menuju ruang makan. Sebuah ruangan yang berfungsi sebagai tempat kumpul keluarga dan memiliki jalan akses keluar-masuk menuju halaman depan rumah, jalan utama. Aku yang usai mencuci piring, tentu saja langsung dapat melihat anak itu dengan jelas. Sebelum sempat kutanyakan maksud dan tujuannya datang kemari, dia justru berbalik arah dan berlari sekencang-kencangnya, menimbulkan suara gaduh seperti baru saja melihat penampakan. Tentu saja itu membuatku terkejut. Pikiran seketika berprasangka. Apakah dia pencuri? Apakah ada sesuatu yang diambil sampai harus lari secepat itu karena takut tertangkap? Atau, bisa jadi dia takut melihat wajahku yang berantakan? Ahh..., aku baru ingat kalau saat itu matahari baru saja lahir, pagi masih terlalu muda. Tentu saja, wajah bangun tidur ini seratus persen tidak akan terlihat menarik.

Sungguh, meski sudah mengunyah sepotong roti dan menyesap setengah cangkir teh manis hangat, lariku tetap saja payah. Anak itu memang luar biasa lincah. Kemampuan larinya sebaik kelinci di tengah hutan rimba. Niat mengejarnya batal. Percuma saja, tidak akan bisa ditangkap.

Esok hari, kejadian itu terulang. Anak kecil tampan dengan wajah berisi dan kulit sehat berseri itu datang lagi. Tapi karena melihatku -yang kali ini tidak keluar dari dapur- tetap saja membuatnya bergegas pergi. Tak sudi kalah kali ini, segenap tenaga kukerahkan untuk berlari dan menangkap anak itu. Tapi takdir berkata lain, saat keluar dari pintu samping, aku justru terpeleset dan jatuh berguling-guling hingga menghantam pagar kayu yang mulai rapuh.

"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" tanya petugas sedikit malas, seperti tidak bersemangat mendengar ceritaku. Bisa jadi dia juga bosan.

"Saya juga tidak tahu, Pak." jawabku polos. Kenyataannya memang demikian.  Tidak ada lagi yang diingat setelah itu. Tapi jelas, terasa ada yang hilang. Nyaris seperti duka yang dalam. Apalagi melihat mereka di luar sana yang berlebihan memperlihatkan rasa takutnya padaku.

"Baiklah, laporan anda, sudah diterima. Silahkan kembali ke ruang tunggu! Nanti akan ada petugas yang menemui anda." perintah pria bersergam itu selanjutnya.

Ini kesekian kalinya aku melapor pada petugas, ingin membuktikan bahwa aku tidak bersalah dan tidak pernah menyakiti siapapun. Tapi mereka tidak percaya dan terus saja menuduhku menyakiti dan menakuti anak-anak. Semakin gigih aku meronta, semakin erat ikatan tangan membelit, dan semakin bertambah pula dosis obat penenang masuk ke dalam tubuh. Akhirnya aku menurut, berdiri lalu membalik tubuh dan berjalan menuju pintu. Di luar, petugas-petugas berseragam putih lainnya sudah lama menunggu.

"Saudari Tila, saatnya minum obat dan beristirahat. Mari, kami antar ke kamar!" ucap salah satu dari empat petugas itu menuntunku, lebih tepatnya mengawal.

Langkah kaki ini sontak layu, kembali menuju kamar di mana selama hampir satu tahun ini menjadi ruang tidur sekaligus ruang tempat menunggu tanpa akhir. Menanti mereka menjenguk, menanyakan kabar dan berbagi cerita serta senyuman. Tapi sepertinya mustahil. Petugas berseragam putih-putih itu selalu menjadi dinding. Maka disinilah aku, dalam ruang putih sebagai tempat di mana sebuah kepastian semakin jauh menjemput. Pulang.

#minggu#pertama#deskripsi
#kelasFiksi
#ODOP-batch5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah