"Adnan, Papa tidak mau bertemu denganmu." Suci tertunduk lesu.
"Kenapa, ada yang salah dengan niatku?" aku heran menatap gadis manis didepanku.
"Aku juga tidak tahu, Papa tidak memberikan alasan apapun. Aku bingung." Suci terpejam, menutupi mata yang sedari tadi berkaca-kaca. Ia tidak ingin aku melihatnya menangis. Gadis malang.
"Tenanglah, mungkin aku yang terlalu terburu-buru. Seharusnya ini bisa direncanakan lebih baik. Sampai menunggu waktu yang tepat, berusahalah mencari tahu alasan penolakan itu!" pintaku pada Suci.
Ya Tuhan, aku salah apa? Niatku baik, tidak ada yang ganjil dengan itu. Jika kuliah yang belum selesai menjadi penyebabnya atau pekerjaan yang belum jelas diketahui. Bukankah lebih baik mendengarkan dulu semuanya dariku. Aku bisa dengan sangat baik menjelaskan semua pada orangtua Suci. Terutama pada Papanya. Apa keinginanku untuk menikah ini dianggap main-main? Maaf saja, aku justru sudah mempersiapkan semua.
"Adnan ...!" panggil Suci memecahkan lamunanku.
"Ya ..."
"Kamu kecewa?" tanyanya ragu-ragu.
"Tidak." jawabku lengkap dengan gelengan kepala.
Walau sebenarnya ada sedikit rasa kecewa di hati. Tidaklah pantas memperlihatkannya pada Suci. Hatinya sudah pasti sangat sedih dengan penolakan papanya. Jadi untuk apa aku menabur garam lagi disana.
***
"Daun jatuh, yes ..., haha kali ini aku berhasil!" teriak Dania sambil mengepalkan tinjunya ke udara.
Rasa puas tidak dapat digambarkan dengan kata-kata untuk menyampaikan kebahagiaannya. Dania benar-benar bahagia, puas dengan hasil jepretannya kali ini.
Sehelai daun berputar-putar, terlepas dan jatuh ke tanah. Dania yang mengamati keadaan daun itu sebelumnya bersiap-siap mengambil posisi. Ketika angin kembali menerpa, daun itu resmi berpisah dari pohon. Menari bagai melambai tanda perpisahan. Dan klik.
Sebelumnya ia terus menerus gagal mengabadikan moment daun jatuh itu. Dengan tekad dan semangatnya ketika berhasil, tentu saja ekspresi bahagia itu akan sangat berlebihan ditampilkan.
"Adnan, lihatlah kali ini daun tidak pernah membenci angin karena terpisah dari pohon. Kuharap kau pun demikian, jangan membenci takdirmu." ucap Dania lirih, berbisik pada dirinya, lebih tepatnya ia sedang menyusun kata. Ini adalah kata-kata yang akan ia tuliskan di balik kertas foto tersebut.
"Hello Mr. Adnan!" sapa Dania mengagetkan pemuda yang sedang hanyut pada kisah dalam buku di tangannya.
"Dania ..., tumben datang? Biasanya Kau hanya akan menitipkan foto-foto hasil jepretanmu pada perawat yang Kau sulap jadi tukang pos." Adnan menutup buku yang dibacanya. Kemudian meletakkan buku tersebut di atas meja, samping kiri ranjang.
"Kali ini special Mr. Adnan. Aku berhasil setelah berkali-kali gagal mengambil foto ini." ada nada bangga dan bahagia yang membuncah dari suara Dania.
"Kemarikan, Aku ingin melihatnya!" perintah Adnan pada gadis dihadapannya.
"Wah ..., melihat rasa antusiasmu, apa Kau sudah mulai menikmati foto-fotoku?" selidik Dania penasaran. Mata kelabunya menatap Adnan. Yang ditatap justru gelagapan, merasa sedikit takjub dengan warna mata yang tidak biasanya ada.
Saat Dania masih menjadi Maba, gadis itu sering jadi bulan-bulanan kakak seniornya. Kecuali Adnan, ia tidak pernah tertarik dengan hal iseng hanya untuk bersenang-senang. Apalagi terhadap anak baru. Dan warna mata Dania yang unik mengundang perhatian senior cowok sekaligus juga pandangan sinis senior cewek. Alhasil, gadis itu diwajibkan menggunakan kacamata hitam selama kegiatan ospek berlangsung. Tentu saja tujuannya agar tidak menyedot perhatian para cowok dengan mata kelabunya.
Adnan hanya terdiam. Sebenarnya ia ingin tertawa mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis itu. Tapi urung, entah mengapa kali ini Ia memang benar-benar ingin segera melihat foto yang berada di tangan Dania. Mungkin lebih tepatnya penasaran dengan hasil yang menurut Adnan tidak pernah sempurna. Buram, fokusnya pecah dan lebih sering terkesan biasa. Menurutnya.
"Kenapa, ada yang salah dengan niatku?" aku heran menatap gadis manis didepanku.
"Aku juga tidak tahu, Papa tidak memberikan alasan apapun. Aku bingung." Suci terpejam, menutupi mata yang sedari tadi berkaca-kaca. Ia tidak ingin aku melihatnya menangis. Gadis malang.
"Tenanglah, mungkin aku yang terlalu terburu-buru. Seharusnya ini bisa direncanakan lebih baik. Sampai menunggu waktu yang tepat, berusahalah mencari tahu alasan penolakan itu!" pintaku pada Suci.
Ya Tuhan, aku salah apa? Niatku baik, tidak ada yang ganjil dengan itu. Jika kuliah yang belum selesai menjadi penyebabnya atau pekerjaan yang belum jelas diketahui. Bukankah lebih baik mendengarkan dulu semuanya dariku. Aku bisa dengan sangat baik menjelaskan semua pada orangtua Suci. Terutama pada Papanya. Apa keinginanku untuk menikah ini dianggap main-main? Maaf saja, aku justru sudah mempersiapkan semua.
"Adnan ...!" panggil Suci memecahkan lamunanku.
"Ya ..."
"Kamu kecewa?" tanyanya ragu-ragu.
"Tidak." jawabku lengkap dengan gelengan kepala.
Walau sebenarnya ada sedikit rasa kecewa di hati. Tidaklah pantas memperlihatkannya pada Suci. Hatinya sudah pasti sangat sedih dengan penolakan papanya. Jadi untuk apa aku menabur garam lagi disana.
***
"Daun jatuh, yes ..., haha kali ini aku berhasil!" teriak Dania sambil mengepalkan tinjunya ke udara.
Rasa puas tidak dapat digambarkan dengan kata-kata untuk menyampaikan kebahagiaannya. Dania benar-benar bahagia, puas dengan hasil jepretannya kali ini.
Sehelai daun berputar-putar, terlepas dan jatuh ke tanah. Dania yang mengamati keadaan daun itu sebelumnya bersiap-siap mengambil posisi. Ketika angin kembali menerpa, daun itu resmi berpisah dari pohon. Menari bagai melambai tanda perpisahan. Dan klik.
Sebelumnya ia terus menerus gagal mengabadikan moment daun jatuh itu. Dengan tekad dan semangatnya ketika berhasil, tentu saja ekspresi bahagia itu akan sangat berlebihan ditampilkan.
"Adnan, lihatlah kali ini daun tidak pernah membenci angin karena terpisah dari pohon. Kuharap kau pun demikian, jangan membenci takdirmu." ucap Dania lirih, berbisik pada dirinya, lebih tepatnya ia sedang menyusun kata. Ini adalah kata-kata yang akan ia tuliskan di balik kertas foto tersebut.
"Hello Mr. Adnan!" sapa Dania mengagetkan pemuda yang sedang hanyut pada kisah dalam buku di tangannya.
"Dania ..., tumben datang? Biasanya Kau hanya akan menitipkan foto-foto hasil jepretanmu pada perawat yang Kau sulap jadi tukang pos." Adnan menutup buku yang dibacanya. Kemudian meletakkan buku tersebut di atas meja, samping kiri ranjang.
"Kali ini special Mr. Adnan. Aku berhasil setelah berkali-kali gagal mengambil foto ini." ada nada bangga dan bahagia yang membuncah dari suara Dania.
"Kemarikan, Aku ingin melihatnya!" perintah Adnan pada gadis dihadapannya.
"Wah ..., melihat rasa antusiasmu, apa Kau sudah mulai menikmati foto-fotoku?" selidik Dania penasaran. Mata kelabunya menatap Adnan. Yang ditatap justru gelagapan, merasa sedikit takjub dengan warna mata yang tidak biasanya ada.
Saat Dania masih menjadi Maba, gadis itu sering jadi bulan-bulanan kakak seniornya. Kecuali Adnan, ia tidak pernah tertarik dengan hal iseng hanya untuk bersenang-senang. Apalagi terhadap anak baru. Dan warna mata Dania yang unik mengundang perhatian senior cowok sekaligus juga pandangan sinis senior cewek. Alhasil, gadis itu diwajibkan menggunakan kacamata hitam selama kegiatan ospek berlangsung. Tentu saja tujuannya agar tidak menyedot perhatian para cowok dengan mata kelabunya.
Adnan hanya terdiam. Sebenarnya ia ingin tertawa mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis itu. Tapi urung, entah mengapa kali ini Ia memang benar-benar ingin segera melihat foto yang berada di tangan Dania. Mungkin lebih tepatnya penasaran dengan hasil yang menurut Adnan tidak pernah sempurna. Buram, fokusnya pecah dan lebih sering terkesan biasa. Menurutnya.
Baca part satu dulu aaaah
BalasHapusSilahkan, aa.
BalasHapusIya part 1 blm baca
BalasHapusIya part 1 blm baca
BalasHapus