Langsung ke konten utama

Pieces of Beauty - 2

     "Adnan, Papa tidak mau bertemu denganmu." Suci tertunduk lesu.

     "Kenapa, ada yang salah dengan niatku?" aku heran menatap gadis manis didepanku.

     "Aku juga tidak tahu, Papa tidak memberikan alasan apapun. Aku bingung." Suci terpejam, menutupi mata yang sedari tadi berkaca-kaca. Ia tidak ingin aku melihatnya menangis. Gadis malang.

     "Tenanglah, mungkin aku yang terlalu terburu-buru. Seharusnya ini bisa direncanakan lebih baik. Sampai menunggu waktu yang tepat, berusahalah mencari tahu alasan penolakan itu!" pintaku pada Suci.

     Ya Tuhan, aku salah apa? Niatku baik, tidak ada yang ganjil dengan itu. Jika kuliah yang belum selesai menjadi penyebabnya atau pekerjaan yang belum jelas diketahui. Bukankah lebih baik mendengarkan dulu semuanya dariku. Aku bisa dengan sangat baik menjelaskan semua pada orangtua Suci. Terutama pada Papanya. Apa keinginanku untuk menikah ini dianggap main-main? Maaf saja, aku justru sudah mempersiapkan semua.

     "Adnan ...!" panggil Suci memecahkan lamunanku.

     "Ya ..."

     "Kamu kecewa?" tanyanya ragu-ragu.

     "Tidak." jawabku lengkap dengan gelengan kepala.

     Walau sebenarnya ada sedikit rasa kecewa di hati. Tidaklah pantas memperlihatkannya pada Suci. Hatinya sudah pasti sangat sedih dengan penolakan papanya. Jadi untuk apa aku menabur garam lagi disana.

***

     "Daun jatuh, yes ..., haha kali ini aku berhasil!" teriak Dania sambil mengepalkan tinjunya ke udara.

     Rasa puas tidak dapat digambarkan dengan kata-kata untuk menyampaikan kebahagiaannya. Dania benar-benar bahagia, puas dengan hasil jepretannya kali ini.

     Sehelai daun berputar-putar, terlepas dan jatuh ke tanah. Dania yang mengamati keadaan daun itu sebelumnya bersiap-siap mengambil posisi. Ketika angin kembali menerpa, daun itu resmi berpisah dari pohon. Menari bagai melambai tanda perpisahan. Dan klik.

     Sebelumnya ia terus menerus gagal mengabadikan moment daun jatuh itu. Dengan tekad dan semangatnya ketika berhasil, tentu saja ekspresi bahagia itu akan sangat berlebihan ditampilkan.

     "Adnan, lihatlah kali ini daun tidak pernah membenci angin karena terpisah dari pohon. Kuharap kau pun demikian, jangan membenci takdirmu." ucap Dania lirih, berbisik pada dirinya, lebih tepatnya ia sedang menyusun kata. Ini adalah kata-kata yang akan ia tuliskan di balik kertas foto tersebut.

     "Hello Mr. Adnan!" sapa Dania mengagetkan pemuda yang sedang hanyut pada kisah dalam buku di tangannya.

     "Dania ..., tumben datang? Biasanya Kau hanya akan menitipkan foto-foto hasil jepretanmu pada perawat yang Kau sulap jadi tukang pos." Adnan menutup buku yang dibacanya. Kemudian meletakkan buku tersebut di atas meja, samping kiri ranjang.

     "Kali ini special Mr. Adnan. Aku berhasil setelah berkali-kali gagal mengambil foto ini." ada nada bangga dan bahagia yang membuncah dari suara Dania.

     "Kemarikan, Aku ingin melihatnya!" perintah Adnan pada gadis dihadapannya.

     "Wah ..., melihat rasa antusiasmu, apa Kau sudah mulai menikmati foto-fotoku?" selidik Dania penasaran. Mata kelabunya menatap Adnan. Yang ditatap justru gelagapan, merasa sedikit takjub dengan warna mata yang tidak biasanya ada.

     Saat Dania masih menjadi Maba, gadis itu sering jadi bulan-bulanan kakak seniornya. Kecuali Adnan, ia tidak pernah tertarik dengan hal iseng hanya untuk bersenang-senang. Apalagi terhadap anak baru. Dan warna mata Dania yang unik mengundang perhatian senior cowok sekaligus juga pandangan sinis senior cewek. Alhasil, gadis itu diwajibkan menggunakan kacamata hitam selama kegiatan ospek berlangsung. Tentu saja tujuannya agar tidak menyedot perhatian para cowok dengan mata kelabunya.

     Adnan hanya terdiam. Sebenarnya ia ingin tertawa mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis itu. Tapi urung, entah mengapa kali ini Ia memang benar-benar ingin segera melihat foto yang berada di tangan Dania. Mungkin lebih tepatnya penasaran dengan hasil yang menurut Adnan tidak pernah sempurna. Buram, fokusnya pecah dan lebih sering terkesan biasa. Menurutnya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah