Langsung ke konten utama

Menu Pagi, Sarapan Semut



"Kak..., ini apa? Gimana cara memakannya?" 

Kalian tahu cara memakan telur yang sudah dibelah menjadi dua bagian sama besar, dan dengan nyata (sedikit hiperbola kukatakan) diatas lingkaran kuning telur yang menghadap ke atas itu, segerombolan semut sedang sidang paripurna. Nah, bagaimana cara memakannya? 

Meraka sangat banyak, bertumpuk, menggelikan sekaligus menakutkan. Mungkin mereka sedang membahas bagaimana caranya menaklukkan manusia dan mengambil alih kekuasaan di dunia ini. 

Kuserahkan semangkok bubur dengan taburan semut di atas telur tadi pada seorang pelayan warung 'Shabhu' yang kebetulan lewat. 

"Oh... Sebentar ya, mba!" pelayan yang menerima mangkok buburku berlalu dengan wajah yang tidak enak dilihat. 

Aku kembali duduk ke tempat yang dari awal kupilih berdekatan dengan TV yang ditempel ke dinding. Layar monitor itu menampilkan kisah perburuan sekelompok orang terhadap dua orang yang anehnya tetap unggul meski dikeroyok ramai-ramai. Harusnya film itu bisa menghiburku. Tapi kenyataannya tidak. Aku kesal. 

Bermula saat aku memarkirkan sepeda, dengan nafas terengah-engah aku masuk ke warung Shabhu. Belum sempat menenangkan nafas yang memburu, seorang pelayan bertubuh gempal menawarkan menu, padahal aku belum duduk. Kuangkat tangan kananku sebagai isyarat 'tunggu sebentar, mba!'. Dia berlalu. 

Selang beberapa detik aku mulai menetapkan pilihan apa yang akan kusantap pagi ini. Kukatakan keinginanku pada pelayan yang sama, kebetulan dia juga lewat lagi di depanku. 

Lima menit berlalu, air mineral dalam kemasan botol yang kuambil dari atas meja sudah hilang setengah. Tenggorokan yang kering sudah basah, tapi perutku mulai demo minta jatah. "Kenapa lama sekali?" 

Ya ampun, kalian tahu? Ternyata pesananku tidak pernah dibuatkan. Mba pelayan bertubuh gempal mengatakan kalau aku tidak pernah memesan apapun padanya. Hatiku mulai berubah warna, ada suara meletup-letup disana. 

Aku kembali ke tempat duduk setelah mengulang pesanan. Aneh, padahal pengunjungnya tidak terlalu ramai. Kok bisa mereka tidak ingat apa yang aku pesan. 

Tiga menit berikutnya, semangkuk bubur sudah diletakkan di mejaku. Penduduk di bagian kampung tengah tubuhku sudah bersorak-sorai ketika aroma bubur terhirup, harum sekali. Air liurku terbit. 

Ya Salam, kuingat lagi apa yang tadi kupesan. Hanya bubur dengan atributnya seperti biasa (kacang tanah, ikan teri, taburan ayam yang di suwir kecil-kecil dan telur). Lalu kenapa ada tambahan taburan semut hidup di atas telur? Apa ini bonus? Detak jantungku sempurna berubah, aliran darah mulai berdesir hebat. 

Aku keluar dari warung Shabhu tanpa membayar bubur, meninggalkan uang tiga ribu di bawah botol mineral untuk air yang sudah kuhabiskan setengah. 

Pelayan-pelayan melongo melihat aku yang berlalu dengan hentakan kaki. Lantai warung bergetar. Sengaja, aku benar-benar kesal. 

Mereka, para pelayan itu ribut. Ada yang menyalahkan temannya karena tidak becus menyajikan makanan. Ada yang bersorak menakut-nakuti temannya. Pemilik warung bahkan lebih sadis lagi, berteriak-teriak memarahi pelayannya yang bertubuh gempal di depan para pengunjung. 

"Mba.. Mba.. Woii.. Mbaaa!!"  pelayan bertubuh gempal yang sedari tadi diserang berteriak ke arahku dengan suaranya yang maksimal nyaring. Kemudian, masih dengan level ketinggian suara yang sama dia membalik badannya, menghadap ke pemilik warung Shabhu yang masih saja mengomel dengan kata-kata yang mulai tidak jelas arahnya. Dia pun kembali berteriak pada pemilik warung, membela dirinya, bahwa dia tidak tahu apa-apa. 

Pemilik warung Shabhu yang diteriaki kaget bukan main. Seketika ia memegang dadanya yang tiba-tiba sesak. Kakinya terasa lemah, sejurus kemudian tubuhnya ambruk ke lantai. Pengunjung riuh. Berteriak minta tolong. Suara gaduh dari mangkok yang pecah susul menyusul berjatuhan, bahkan beberapa botol kecap ada yang terbang demi meminta semuanya untuk tenang dan diam. 

Beberapa menit kemudian... 

"Mba... Mba, ini buburnya. Silahkan!" Aku membuka mata. Seorang pelayan bertubuh kecil mengantarkan semangkuk bubur tanpa taburan semut padaku. Wajahnya manis dengan senyum yang tulus. 

Aku menarik nafas dalam-dalam. Menggelengkan kepala untuk mengusir semua adegan kacau dan aneh dari dalam kepala. 

Aroma bubur ini enak sekali. Perlahan kunikmati rasanya yang nikmat, sambil menyaksikan film di layar TV. Dua orang yang diburu tadi bisa melarikan diri, sedangkan kelompok pemburu tersisa enam orang. Mereka kehilangan empat orang anggotanya. 


Bersepeda, 6 Agustus 2017



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah