Langsung ke konten utama

Aku Ingin Pulang

 



Cerpen Minggu Pagi di Pontianak Post. 

Alhamdulillah cerpen dengan judul yang mewakili keinginan dan kerinduan penulis untuk pulang ke kampung halaman di Kalimantan, hari ini terbit di Pontianak Post. 

Senang, karena tulisannya sampai duluan di Pontianak. Hehe..., andai bisa sering-sering pulang (meski hanya lewat tulisan)

Berhubung foto yang dikirim kurang begitu jelas dibaca, maka penulis menuliskan kembali di blog. 

---------


Aku Ingin Pulang

Oleh: Rina Adriana

 

Rimbawan kecil naik gunung yang tinggi... Rimbawan kecil naik gunung yang tinggi

Lalu hujan turun rimbawan jatuh... Matahari terbit hujan berhenti

Dan...

Rimbawan kecil naik gunung yang tinggi... Rimbawan kecil naik gunung yang tinggi

Lalu hujan turun rimbawan jatuh... Matahari terbit hujan berhenti...

 

Syair lagu itu disenandungkannya berulang-ulang. Berharap keberaniannya tetap tepatri kuat di dalam dada. Malam semakin kelam, penghuni hutan terlihat hitam, pohon hitam, ilalang yang kasak kusuk ditampar angin juga berwarna hitam, lalu daun-daun yang meranggas pun hitam. Apakah nasibnya juga akan sekelam hitam?

Wajah ibu terlihat jelas. Seakan-akan wujudnya nyata di depan mata. Tawa adik yang pecah, tumpah lewat senyum bercampur ringisan perih dan asinnya darah di sudut bibir. Dia mengingat waktu saat bermain dengan adik, menyanyikan lagu rimbawan kecil sembari memainkan jari-jari tangan. Jempol kiri menempel di kelingking kanan, dilanjutkan dengan kedua telapak tangan berputar ke atas dan menempelkan jempol kanan pada kelingking kiri. Begitu seterusnya hingga syair berulang dengan tempo yang semakin cepat. Jika jari yang bermain terpeleset, atau tidak tepat menempel pada tempatnya, maka kapur putih bersiap menghias wajah, mencipta rupa badut setelahnya.

Senyumnya kini semakin getir. Rindu pelukan ibu dan tawa adik. Dia ingin segera pulang. Hanya ingin pulang.

***

            Seorang laki-laki tua sedang sibuk memperhatikan potongan kayu di tangannya. Serat-serat yang terdapat pada kayu itu memang padat dan halus. Namun ada yang aneh pada bagian tengah batang potongan kayu yang masih bulat itu. Ada serat hitam menggumpal, berpilin dan hampir membentuk lingkaran serupa wajah yang tidak sempurna.

            “Kayu ape ke yang Ijal angkot nih?” gerutunya tidak puas dengan kayu yang dibawa cucu semata wayangnya.

            Bagi laki-laki tua itu, meskipun hanya pengrajin tua bermodal kecil, hasil pekerjaannya haruslah bagus dan memberi kepuasan di hati pembeli. Membuat alat-alat dapur memang sudah menjadi pekerjaannya. Kemampuannya hanya itu. Maka dengan segenap jiwa ia akan membuat alat-alat dapur yang bagus, sebagaimana dulu bapaknya mengajarkan, ilmu dan pekerjaan yang turun-temurun dilakoni keluarga.

            Dengan bahan yang ada, meski tidak memuaskan hati, laki-laki tua itu tetap melanjutkan pekerjaannya. Membelah kayu menjadi potongan-potongan kecil, lalu kemudian mulai memahat satu persatu potongan kecil itu membentuk sendok, alu’, telenan, dan berbagai alat perkakas dapur lainnya yang memungkinkan dibuat dari kayu. Semua dikerjakannya sendiri.

***

            Pemuda itu berjalan mengendap-endap, langkahnya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia berusaha memperhatikan dengan seksama sekumpulan laki-laki bertubuh besar yang bekerja dengan mesin-mesin pemotong, sembari tangannya mempersiapkan kamera, mengumpulkan bukti untuk data-data yang dibutuhkan.

            Langit seketika menghitam. Dadanya sesak sebab prana tidak bekerja sebagaimana mestinya. Berkali-kali tendangan dan pukulan tepat menghunjam di ulu hati. Tubuh kurusnya kini semakin menciut sebab hawa takut kini bertengger kuat di pundak, mencengkeram layaknya sepasang cakar burung pemakan bangkai siap menyantap.

            “Bereskan! Touke tidak mau pekerjaannya diganggu orang-orang sok pintar.” sebuah perintah melayang dibawa angin menembus rongga telinga, merobek dada, membuat sendi-sendi seakan lepas dari tempatnya, lantas mencipta pias di wajah.

***

            “Ijal..!” panggil laki-laki tua itu dari belakang pondok. Tempatnya bergelut dengan serpihan dan potongan kayu yang kini dalam proses dihaluskan. “dimane aam kau ambek kayu nih?” tanyanya dengan logat melayu sebelah utara pulau Kayong yang kental.

            Ijal adalah anak usia remaja. Tugasnya menebang pohon pilihan di sekitar hutan setiap dua minggu sekali, dan kemudian menanam kembali bibit baru untuk mengganti setiap pohon yang diambil. Cucu laki-laki tua itu sejak kecil sudah ditinggal mati kedua orangtuanya. Ibunya meninggal saat melahirkan, sedangkan bapaknya meninggal ditelan ombak laut. Resiko menjadi nelayan. Maka laki-laki tua itu bertekad mendidik cucunya, menurunkan ilmu dan keterampilan membuat perkakas dapur dari kayu. Baginya, pekerjaan sebagai pengrajin lebih aman daripada melaut.

            “Di belakang bukit, Tok.” Sahut Ijal yang sibuk menanak nasi. Di rumah ini, hanya ada mereka berdua.  Maka ketika laki-laki tua sudah bergelut dengan potongan-potongan kayu, cucunya akan menyiapkan makan siang untuk mereka. “Ngape bah, Tok?” tanyanya kemudian.

            Laki-laki tua masih mengamati sisa potongan kayu. Tidak ia hiraukan pertanyaan cucunya. serat hitam kini tampak lebih banyak pada bagian ini. Dahinya berlipat merasakan sesuatu pada permukaannya yang halus, seakan-akan ada yang tidak beres.

            “Gian ee..., Mustahel am!” bisik laki-laki tua yang dipanggil Atok oleh cucunya itu berucap pada potongan kayu di tangannya. Ditempelkannya kembali potongan kayu itu pada kedua telapak tangan, berusaha merasakan getaran yang tadi sempat dirasakan. “Bukit sebelah mane, Jal?” tanyanya lagi pada cucunya, penasaran.

            “Ndak jaoh aam dari utan lindong. Ngape bah, Tok?” Ijal bingung melihat wajah Atok yang cemas.

            “Eh.. kau nih, ngape sampek kesitok? Jom kite ke sana agik!” Laki-laki tua itu kini semakin risau.

            “Sekarang ke, Tok?”

            “Taon depan! Benar-benar kau nih yeh, sekaranglah, Jal!” Gerutunya menanggapi pertanyaan Ijal. Ia paham, cucunya itu pasti kebingungan. Begitupun yang ia rasakan.

***

            Ijal semakin tidak paham dengan tingkah Atok. Apakah kayu dari pohon mahoni yang ditebangnya di hutan belakang bukit itu terlalu jelek untuk dibuat menjadi perkakas dapur? Meski demikian, kakinya tetap melangkah, memandu Atok menuju hutan di belakang bukit, dengan pundak membawa beban sisa batang pohon yang sudah dipotong.

            “Di sini ke, Jal? Benar ndak ee?” tanya Atok memastikan. Wajah tua itu kini semakin muram menatap tunggul pohon yang masih menancap kuat di tanah. Serat menghitam yang berpilin itu jelas masih terlihat.

Ijal mengangguk pasti. Diletakkannya potongan kayu yang tadi dibawa, kemudian mengikuti Atoknya memeriksa keadaan di sekeliling. Menurut Atok, daerah ini memang tidak jauh dari hutan lindung. Hutan yang oleh pemerintah tidak boleh siapapun menebang dan mengambil pohon di dalamnya. Tapi itu hanya omong kosong, sudah menjadi rahasia umum bahwa di dalam hutan lindung itu, pohon-pohon justru sering diambil diam-diam oleh cukong-cukong berperut buncit. Dan anehnya, pemerintah seringkali kecolongan.

Tepat di belakang semak-semak, lima langkah dari tunggul pohon mahoni yang ditebangnya, Atok menemukan seonggok tulang belulang yang tidak sepenuhnya menyatu dengan tanah. Atok yakin itu milik manusia.

Selama beberapa jam kemudian, dihabiskan Atok memahat sisa batang pohon. “Aku ndak tau cam mane bawa kau pulang. Moge jak nisan ini nih cukop ngeringankan risau jiwemu ye.” Ucap Atok sambil membenamkan nisan yang tadi dibuatnya dari sisa pohon mahoni, mendoakan arwah yang gelisah mengalir dalam batang pohon di dekat tulang belulang ditemukan.

Atok berkisah pada Ijal bahwa ia teringat beberapa saat yang lalu, ketika tangannya menangkap getaran aneh dari potongan kayu mahoni yang berserat hitam, seakan-akan ingin mengatakan ‘ingin pulang’. ***

 

 ---------------

Biodata Penulis:

Rina Adriana. Lahir di Pontianak-Kalimantan Barat. Anak kedua dari empat bersaudara ini menyukai aktivitas menulis dan membaca. Sejak tahun 2015 mulai menulis di blog.

Bergabung di Forum Sastra KALBAR dan One Day One Post (ODOP) yang menjadi tempatnya berbagi dan menggali lebih banyak informasi kepenulisan.

Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi juga pernah dimuat di koran Suara Pemred, Solo Post, Pontianak Post, Koran Merapi, beberapa Antologi Cerpen dan Puisi, serta buku Solo.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topeng (bag.7)

-Menemukan Kasih- Dimas baru menyelesaikan pekerjaannya. Walau jam makan siang telah tiba, Ia enggan keluar dari ruang kerja. Selera makannya hilang sejak kekacauan itu menimpa perusahaan. Duduk dan berdiam diri lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu diluar ruangan. Pintu kantornya diketuk, Dimas mempersilahkan masuk. "Dimas..bagaimana kabarmu?" Sapa tamu itu akrab. "Ooh..Anton, Silahkan duduk." Dimas menyambut tamu yang ternyata adalah teman baiknya, dengan wajah senang. "Aku baik-baik saja, tapi seperti yang kau ketahui, perusahaan ini dilanda hal yang tidak menyenangkan."Sambungnya lagi. "Turut prihatin atas musibah yang menimpa bawahanmu. Maaf aku  tidak ada disini untuk membantu saat itu." Anton bersimpati pada temannya. Istirahat siang itu dihabiskan dengan pembicaraan seputar kasus pembunuhan yang menimpa karyawan perusahaan. Sebenarnya Dimas malas membahas hal itu lagi, tapi demi menghargai teman bai

Topeng (bag.9)

-Surat Misterius-   Ikuti kisah sebelumnya disini Dua surat diterima pagi itu, seorang karyawan kemudian mengantarkannya pada orang yang dituju. Dimas adalah salah satu penerima surat tersebut, Ia membalik amplop putih yang baru diterimanya untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tak ada. Yang Terhormat : Dimas Arga Atmaja, M.E Hanya namanya saja yang tertera disitu, surat itu kemudian diletakkan begitu saja, karena Dimas enggan untuk membacanya. Namun tak berapa lama kemudian, dengan sukarela Dimas memungut kembali surat tanpa nama pengirim itu, menyobek salah satu sisi amplop lalu membacanya.  ‘ AKU SUDAH TAHU! ’ Begitu isi kalimat yang tertera pada kertas dengan warna kelabu, singkat. Untuk beberapa saat Dimas mematung setelah membaca surat itu, memang tidak jelas apa yang diketahui, namun hati tak dapat dibohongi. Dugaannya surat ini pasti berhubungan dengan Kasus pembunuhan yang terjadi. Mau tidak mau ingatan Dimas kembali pada sms yang diterimany

Topeng (bag.5)

-Dugaan- Dua foto wanita cantik terpajang di dinding ruangan. masing-masing dilengkapi dengan data yang dibutuhkan para penyidik untuk memecahkan kasus pembunuhan yang sedang ditangani. "Diperkirakan pembunuhnya adalah seorang pria muda" Inspektur Bobby membuka suara. "Walaupun tak ada tanda-tanda kekerasan seksual." Sambungnya lagi. "Dilihat dari tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari korban dan sepertinya ini sudah direncanakan." Rudi ikut berkomentar. Inspektur Bobby mengamati lekat-lekat data para korban yang ada ditangannya. Merusak wajah korban setelah kematian, menunjukkan adanya masalah mental yang serius pada pelaku. Begitulah kondisi kedua korban saat ditemukan. Wajahnya disayat seperti hendak membalaskan dendam. Entah apa sebenarnya motif dari pembunuhan ini. Yang jelas kedua korban adalah teman dekat dan juga bekerja di tempat yang sama. "Aku pikir pelaku pembunuhan dari kedua korban ini adalah