hidaynur.web.id |
Percayalah! Perutnya tidak akan pecah meski dengan rakus wanita itu menyantap segunung hidangan kata, mengunyah hingga lumat baris demi baris makna yang bersemayam dalam lembar-lembar kertas menguning, tipis, lentur nan rapuh.
Percayalah! Sebanyak apapun wanita itu menenggak lautan hikmah, kepalanya tidak akan meledak. Bahkan dia akan terus merasa haus sebab kerongkongannya memang tidak pernah merasa cukup dengan aliran ilmu yang disesap.
Di satu waktu, tepat di penghujung tahun yang lalu. Wanita itu menundukkan kepala dengan amat dalam, jari-jarinya mengetuk rumah besar yang dikenal dengan nama komunitas—tempat sekumpulan orang-orang yang ingin jadi penulis, meski tidak semua dari mereka punya tujuan dan tekad yang sama.
Lagi, jari-jarinya mengetuk. Dia meminta bantuan.
Untuk sekelas manusia lincah dan penuh semangat serta cerdas, permintaan bantuan yang dimintanya tentu menarik perhatian. Lantas saya hampiri dia dalam bilik maya, menyapa dan menanyakan apa yang dibutuhkan.
Tahukah, apa yang dia inginkan?
Berawal dari sebuah renungan yang sempurna membuat tengkuknya terasa berat. Ya, kata-kata dalam sebuah tulisan telah memenuhi dan membentur-bentur rongga dada, hingga membuatnya tersengal-sengal. “Tolong nasehati saya!” pintanya membuat saya mematung, sebuah permintaan dari seorang yang memiliki banyak kecakapan.
Jauh sudah kakinya melangkah, menapak dunia aneka tulisan dalam alur-alur kata yang berpilin menjadi kalimat, berpadu membentuk paragrap hingga utuh dan siap disantap—tidak diragukan lagi, buku-buku karyanya sudah berbaris rapi, baik yang sudah dicetak ataupun yang belum, dan artikel-artikelnya juga sudah seringkali muncul di media cetak. Beragam jejak lewat berbagai program yang diikuti, baik di dalam dan di luar penelitian, telah ditinggalkannya di belahan bumi empat musim demi melampiaskan dahaga yang tidak pernah lesap. Lantas, nasehat seperti apa yang mampu diberikan dari seorang seperti saya yang hanya berkutat di tempat?
“Tolong nasehati saya, Mbak.” Kalimatnya meluncur begitu saja.
Saya diam sesaat untuk sekedar mengingat kebersamaan dalam komunitas. Ada banyak hal yang terjadi, ada banyak cerita yang biasa dibagi. Dari keseluruhannya, saya berusaha mencari dan memilih kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Ada dua kata yang kemudian saya tuliskan demi menjawab permintaannya. “Sabar dan istiqomah.”
Dua kata itu dipilih bukan saja untuknya secara pribadi dalam usaha mengembangkan diri, tapi juga untuknya dalam menghadapi berbagai kepala yang ada dalam komunitasnya—yang berarti komunitas kami. Banyak kepala tentu banyak pula isinya, tentu beragam pula karakternya, maka butuh waktu untuk bisa diarahkan sebagaimana mestinya untuk mencapai tujuan—dalam hal ini keinginan dan tekad menjadi penulis, tekad memiliki karya dan tekad meninggalkan jejak dalam menoreh sejarah. Sabar dan istiqomah. Dua kata yang saya sampaikan bukan karena wanita itu tidak memilikinya, bukan! Dua kata itu saya sampaikan agar jangan sampai lepas dan hilang dalam dirinya. Sebab, manusia-manusia dalam komunitas kepenulisan yang jumlahnya kini semakin banyak itu adalah makhluk Tuhan yang butuh proses untuk mencapai mimpi-mimpinya.
Saya percaya! Wanita dengan setumpuk peran itu akan kuat dan mampu menjaga semangat, sebab dia berdiri di atas mimpi-mimpi dan segenap tekad yang menjadi bagian dari kaki-kakinya untuk berkembang dan mencapai apa yang diinginkan.
Saya percaya! Dalam geraknya yang lincah selalu ada tekad, mimpi dan harapan yang bahkan tidak diraih untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekelilingnya. Sebab baginya, berhasil sendirian tidak akan menyenangkan.
Untuk wanita itu, kepadanya—Mbak Nur Hidayati—terima kasih sudah menginspirasi.
Mantap
BalasHapusSabar dan istiqomah... Dua kata yang menuntut hati meredam gelisah, sekaligus mengusir rasa lelah
BalasHapus