Alam pemandangan senja merupakan lambang waktu yang mengalir.
Segala sesuatu terus mengalir. (Heraclitus)
Dulu, dulu sekali, ketika kulitku masih sehalus bayi, dengan warna kulit yang putih bersih dan belum ternoda sengatan teriknya bundaran api pada siang di tengah lapang, ketika rambutku belum bertumbuh dengan lebatnya. Aku sering berpikir, kenapa aku bisa bersuara? Lantas dari mana asalnya kata suara? Bagaimana bisa suara itu terdiri dari huruf 'ES U A ER A'? Kenapa kata suara disebut sebagai kata dalam bahasa Indonesia? Dan selanjutnya pertanyaan itu lantas terus mengalir, lahir, beranak pinak, tanpa ujung, tanpa titik, bahkan tak berjeda, sebab terus menerus muncul begitu saja.
Jadi, bagaimana mengakhiri semua pertanyaan yang pada akhirnya membuat kepalaku berdenyut lalu merasa seakan-akan mengembang perlahan-lahan, semakin besar, besar, besar dan ketika merasa pembesaran itu membuatku lelah, maka satu-satunya cara untuk memangkas kelahiran pertanyaan-pertanyaan yang begitu subur itu, kukatakan, "begitulah kehendak Tuhan!"
Dan semesta diam dalam selimut malam, menghadirkan bunga-bunga mimpi yang bagai kabut, ada namun mustahil dijamah.
Aneh juga, aku baru tahu hal-hal dengan pertanyaan remeh seperti itu, baru baru ini kukenal berbau filsafat. Ya, meski filsafat lebih rumit untuk dipelajari, setidaknya orang sepertiku dapat belajar berfikir secara filosofis.
Lalu, darimana aku harus memulai? Nah, aku mulai bertanya lagi.
#coret-coret petang, Juli 2018
Segala sesuatu terus mengalir. (Heraclitus)
Dulu, dulu sekali, ketika kulitku masih sehalus bayi, dengan warna kulit yang putih bersih dan belum ternoda sengatan teriknya bundaran api pada siang di tengah lapang, ketika rambutku belum bertumbuh dengan lebatnya. Aku sering berpikir, kenapa aku bisa bersuara? Lantas dari mana asalnya kata suara? Bagaimana bisa suara itu terdiri dari huruf 'ES U A ER A'? Kenapa kata suara disebut sebagai kata dalam bahasa Indonesia? Dan selanjutnya pertanyaan itu lantas terus mengalir, lahir, beranak pinak, tanpa ujung, tanpa titik, bahkan tak berjeda, sebab terus menerus muncul begitu saja.
Jadi, bagaimana mengakhiri semua pertanyaan yang pada akhirnya membuat kepalaku berdenyut lalu merasa seakan-akan mengembang perlahan-lahan, semakin besar, besar, besar dan ketika merasa pembesaran itu membuatku lelah, maka satu-satunya cara untuk memangkas kelahiran pertanyaan-pertanyaan yang begitu subur itu, kukatakan, "begitulah kehendak Tuhan!"
Dan semesta diam dalam selimut malam, menghadirkan bunga-bunga mimpi yang bagai kabut, ada namun mustahil dijamah.
Aneh juga, aku baru tahu hal-hal dengan pertanyaan remeh seperti itu, baru baru ini kukenal berbau filsafat. Ya, meski filsafat lebih rumit untuk dipelajari, setidaknya orang sepertiku dapat belajar berfikir secara filosofis.
Lalu, darimana aku harus memulai? Nah, aku mulai bertanya lagi.
#coret-coret petang, Juli 2018
Komentar
Posting Komentar